Kamis, 08 Januari 2015

MAHASISWA: REFLEKSI AWAL TAHUN 2015


Kembali dalam guratan tinta elektronik, tulisan tak bertuan menyampaikan maksudnya lewat ‘Mahasiswa: Refleksi Awal Tahun 2015’. Mari kita berhenti sejenak dengan rutinitas kita (kecuali bernafas) untuk membayangkan atau tepatnya merenungkan apa yang telah kita lakukan setelah euforia tahun baru masehi ini. Jika ada orang yang berkata, “mari kita refleksi apa yang kita lakukan pada tahun lalu”, itu hal yang sangat wajar.  Namun sungguh tidak biasa jika refleksi dilakukan di awal tahun, terlebih lagi jika itu tak lebih dari 10 hari sejak tahun baru.
Sekarang yang jadi pertanyaan, apa kita sudah melakukan refleksi, entah untuk hari kemarin ataupun tahun lalu? Adakah dari kita yang berpikir bahwa hari-hari di tahun ini tak berbeda dari hari-hari di tahun sebelumnya? Ataukah kita tak memikirkannya sama sekali? Yah, kita boleh jujur pada diri masing-masing.
Refleksi adalah salah satu bagian dari tindakan merenung yang fokus pada sejarah diri sendiri, orang lain, maupun suatu kelompok masa tentang apa yang sudah dilakukan, baik dan buruknya. Tak perlu terburu-buru dan tak usah jauh-jauh, mari kita mulai dari diri sendiri. Mulailah bertanya pada diri sendiri tentang sejarah anda sendiri. Namun, sebelum kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, saya ingatkan bahwa ini refleksi tahun 2015, bukan tahun 2014. Bukankah 2014 itu merupakan sejarah? Tentu saja, namun jika anda memperhatikan paragraf sebelumnya, anda tidak akan kebingungan menyusun pertanyaan-pertanyaan kritis untuk diri anda.

Mahasiswa, dari mata ke mata
Saya harap anda telah mengisi lembar jawaban untuk diri anda dan sebelum lebih jauh lagi, saya pertegas bahwa saya adalah seorang mahasiswa dan tulisan refleksi bersama ini berkaitan dengan dunia kemahasiswaan. Jika membicarakan mahasiswa, pasti ada sedikit terlintas dibenak orang yang membicarakan mahasiswa tersebut (mahasiswa dan non-mahasiswa sama saja), soal demonstrasi, aksi bakar ban, bentrokan, pengerusakan, bahkan anarkisme radikal. Saya sangat menyayangkan hal tersebut. Namun apa daya, belum ada hasil yang kita tunjukkan pada mereka (khususnya masyarakat yang terperangkap janji-janji penguasa).
Akhir-akhir ini, saya sedikit membaca tulisan-tulisan mengenai mahasiswa serta gerakan pembebasan yang diusung oleh mereka. Melihat sisi lain dari mahasiswa yang umumnya dibicarakan, sebuah tulisan berjudul ‘Surat Terbuka untuk Mahasiswa Makassar’ oleh Asri Abdullah (mantan ketua UKPM-UH) cukup mencolek benak sebagian orang, termasuk saya. Penghargaan bagi mereka yang tak pernah lelah meneriakkan keadilan di atas aspal panas, mungkin begitulah kesimpulannya. Namun, kebanggaan belum sepantasnya kita kumandangkan, sebab tirani masih merajalela. Terus berbuat, itulah yang kita harus lakukan.
Perjalanan mahasiswa dan gerakannya tentu saja tak semudah copy-paste dari Google atau Wikipedia. Peristiwa-peristiwa berujung batu dan darah seringkali tak terhindarkan. Tak hanya para aparat, masyarakat yang punya kepentingan pun berpihak pada penguasa, mengacungkan tinjunya kepada mahasiswa. Ibarat ‘Jalanan dan Sang Koboi’ menurut salah satu anggota LAW Unhas, Aman Wijaya. Tak hanya secara fisik, namun tekanan mental berupa ancaman DO dan skorsing selalu membayang-bayangi setiap perjalanan gerakan mahasiswa. Barbagai macam tekanan tersebut ‘melemahkan’ gerakan mahasiswa dan menciutkan nyali sebagian besar mahasiswa dari tahun ke tahun. Tidak hanya berasal dari luar, faktor penghambat gerakan mahasiswa berasal dari mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa semakin nyaman dengan fasilitas kampus, seperti Wi-Fi dan ruangan serbaguna yang sering kita sebut sekretariat himpunan. Ruangan tersebut layaknya sebuah cafe dengan fasilitas koneksi internet, tentu saja lengkap dengan secangkir kopi dan sebatang rokok. Bukannya ‘berselancar’ mencari sesuatu yang bermanfaat, justru menggunakan fasilitas itu untuk kenikmatan diri sendiri. Ketika ada isu-isu mengenai gerakan mahasiswa, sebagian mahasiswa lebih senang untuk duduk dengan nikmat di depan laptopnya. Yah, kita tidak boleh merampas kebebasan mereka. Toh, mereka adalah mahasiswa yang dapat memilih apa yang baik untuk diri mereka.

Angkatan ‘98
Kesaktian mahasiswa yang (masih) terngiang dalam kisah-kisah heroik angkatan ’98, selalu saja didendangkan oleh para aktivis masa kini. Bukannya ingin melupakan sejarah, tapi ada yang lebih dari pada itu. Menurut saya, redupnya ‘kesaktian’ mahasiswa tersebut karena ada suatu pencapaian yang luar biasa sehingga kepuasan mahasiswa atas pendudukan rezim Orde Baru berlangsung sangat lama, akibatnya mahasiswa bingung ‘mencari lawan’ dan gerakannya mulai terpecah karena pemerintah bisa membaca gerakan mahasiswa lebih awal, membuat banyak permasalahan, mulai dari sesuatu yang abstrak, seperti ideologi dan RUU sampai sesuatu yang bersifat teknis, seperti kebijakan pemerintah menaikkan BBM, penggusuran pemukiman kumuh, dan masih banyak lagi. Masalah bagi mahasiswa tersebut merupakan keuntungan bagi penguasa. Tapi anehnya, pemerintah sekarang sebagian besar berasal dari angkatan ’98 yang kita banggakan itu. Apakah permasalahan gerakan mahasiswa adalah sebuah ujian yang diberikan oleh mereka atas pertanyaan mengenai gerakan mahasiswa mau dibawa ke mana?
Teman-teman bisa membaca tulisan dari indoprogress.com berjudul ‘Meletakan Kembali Gerakan Mahasiswa ke Jalur Strategis’ oleh Hendardi. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bagaimana perubahan arah gerakan mahasiswa yang semula gerakan sosial menjadi gerakan politik bersama masyarakat. Pasca jatuhnya rezim Orde Baru,  semakin terlenalah mahasiswa dengan kebebasan bertindak, termasuk begadang sampai pagi dan tidur sampai sore. Selain itu, kebersamaan mahasiswa terpecah oleh oknum-oknum yang membawa bendera masing-masing, masuk ke kampus seperti angin, dan menimbulkan perpecahan dalam gerakan mahasiswa. Mahasiswa tidak dapat menentukan arah gerakan yang dapat menyatukan mereka karena musuhnya sangat beragam, neolibealisme-lah, kapitalisme-lah, pemerintah-lah, mafia tanah-lah, apa-lah, tergantung pada bendera yang mereka bawa.
Bukan melupakan sejarah, tetapi kita mesti memahami bahwa konteks gerakan mahasiswa sekarang berbeda dengan mereka, angkatan’98. Bukankah hal yang wajar jika pemerintah jarang menjawab aspirasi mahasiswa karena metode gerakannya dari tahun batu hingga sekarang tetap sama? Orasi - bakar ban - lempar batu kalau sempat - bentrok adalah siklus alami dari sebuah demonstrasi. Walaupun tidak semuanya seperti itu, namun telinga masyarakat tahu apa yang mereka dengar. Pers yang awalnya merupakan media gerakan pembebasan berubah menjadi hedonis dan penyambung lidah pemerintah yang semakin memperburuk citra mahasiswa di masyarakat. Namun itulah yang mesti kita terima, hal tersebut sama saja dengan teror Orde Baru pada masa angkatan ’98, hanya saja yang ini adalah New Form.

Refleksi: Think, Think, Think...
Mahasiswa terbaik adalah mereka yang mampu berpikir kritis dan dapat menjadi lulusan yang tidak hanya mapan IQ-nya, namun EQ-nya juga (itu menurut saya loh!). Semua itu tertulis jelas dalam tridharma perguruan tinggi, namun kebanyakan dari kita sedikit salah kaprah dan setengah-setengah menjalankannya. Tahun 2015 ini merupakan tahun yang sekiranya dapat menggeser sedikit pemikiran mahasiswa karena saya rasa bukan hanya saya saja yang merasakan kemerosotan gerakan mahasiswa, mungkin sebagian dari kalian juga cukup merasakannya. Kemerosotan ini menimbulkan polemik saling salah-menyalahkan di dalam tubuh lembaga kemahasiswaan. Saya rasa, cukuplah kita membuat masalah baru yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah, cukup refleksi diri masing-masinglah. Sudah cukup dengan 2014, pertanyaannya adakah dari kita yang telah memikirkan gebrakan untuk tahun ini?
Jujur, saya hanya dapat meluangkan waktu untuk menulis di sela-sela liburan yang cukup lama ini. Saya merasa masih perlu banyak belajar untuk membangun sebuah konsep tentang mahasiswa untuk diri saya sendiri. Tahun 2015 saya awali dengan secangkir softdrink dan imajinasi-imajinasi liar yang entah akan terwujudkan atau tidak. Untuk dunia kemahasiswaan, saya tahu diri bahwa saya belum bisa membaktikan diri dengan baik dan menjalankan tridharma perguruan tinggi sebagaimana mestinya. Saya juga sudah memikirkan sarjana, namun sarjana yang tugas dan tanggung-jawabnya dalam artian menurut Soe Hok Gie:

Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan.

Itulah sedikit tulisan refleksi yang bisa saya bagikan kepada teman-teman. Sebenarnya tulisan ini lebih tepat disebut sebuah ajakan untuk kita merefleksikan diri. Ada yang beranggapan bahwa refleksi tidak perlu di umbar, cukup dalam diri sendiri saja. Namun, saya hanya bermaksud membagikan sedikit isi pikiran saya. Itulah demokrasi, daripada curhat di wall facebook mending buat tulisan. So, bagaimana dengan anda? Apa yang sudah anda rencanakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar