Senin, 15 Desember 2014

HOMO ERECTUS

Manusia pertama kali muncul pada periode plestosen (sekitar 2,0 juta tahun yang lalu) dimulai dari jenis manusia purba hingga manusia modern. Manusia modern diteorikan berkembang dari manusia purba, yang berkembang dari Homo erectus. Manusia purba ini memiliki ukuran otak 1200 sampai 1400 cm3, yang melebihi rentang pada manusia modern. Anatomi manusia puba dibedakan dari manusia modern dari tengkoraknya yang tebal, tonjolan bubung alis dan tidak menonjolnya dagu. Garis pembatas yang membedakan manusia dengan Homo erectus adalah sangat kabur. Fosil terbaru dari manusia purba seperti Homo remains dari 195.000 tahun yang lalu dikenal sebagai manusia modern. Namun, manusia modern awal tersebut memiliki campuran ciri-ciri manusia purba, seperti bubung alis yang sedang, tapi tidak menonjol. Pada tulisan ini, akan lebih difokuskan pada jenis manusia purba Homo erectus.
Homo erectus dalam Bahasa Indonesia berarti ‘manusia yang berdiri tegak’ salah satu dari genus Homo yang telah punah. Antropolog sekaligus pakar anatomi Belanda, Eugene Dubois pertama kali menggambarkannya sebagai Pithecanthropus erectus berdasarkan fosil tempurung kepala dan tulang paha yang ditemukan di Kedungbrubus (Madiun) dan Trinil (Ngawi) pada tahun 1890, 1891, dan 1892. Sejak ditemukannya fosil tersebut, para ilmuwan percaya bahwa manusia modern berevolusi di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori evolusi milik Charles Darwin dalam bukunya Descent of Man yang mengatakan bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Hal ini diperkuat penemuan manusia Neanderthal di Jerman yang menyerupai kera maupun manusia. Namun, pada tahun 1950-an , beberapa fosil yang di temukan di Kenya, Afika Timur, ternyata menunjukkan bahwa hominins memang berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa Homo erectus adalah keturunan dari makhluk mirip manusia era awal seperti Australopitherus dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo habilis.
Homo erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistosen awal sekitar 2,0 juta tahun yang lalu dan terus menyebar ke seluruh ‘Dunia Lama’ hingga mencapai Asia Tenggara. Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1,8 dan 1,0 juta tahun telah ditemukan di Afrika (Danau Turkana dan Olduvai Gorge), Eropa (Georgia), Indonesia (Sangiran, Trinil, Sabungmacan, dan Ngandong: semuanya di tepi Bengawan Solo), dan Tiongkok (Shaanxi). Homo erectus menjadi hominid terpenting mengingat bahwa spesies inilah yang pertama kali meninggalkan benua Afrika.




Daftar Pustaka

Duli, Akin. 2014. “Manusia Purba”. Bahan ajar. Makassar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. 2009. Sangiran Menjawab Dunia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Wikipedia Indonesia. 2014. “Homo erectus”. http://id.wikipedia.org/. [cited in Makassar, 8 Decembre 2014).

Senin, 20 Oktober 2014

VANDALISME MAKASSAR: WUJUD EKSPRESI DAN IDE MASYARAKAT SERTA KAITANNYA DENGAN CAGAR BUDAYA

Kota Makassar merupakan sebuah kota yang berkembang dilihat dari segi perekonomian, industri, dan pembangunan infrastruktur. Pembaharuan-pembaharuan gencar dilakukan oleh pemerintah kota, demi menambah kenyamanan dan kecantikan Kota Makassar. Selain pembangunan fisik kota, kesehatan dan pendidikan menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi pemerintah kota untuk menuju Makassar yang lebih maju. Program-program pendidikan dan kesehatan menjadi slogan-slogan para calon wakil rakyat Kota Makassar dalam usahanya mengambil hati masyarakat. Sebelum hari pemilihan wakil rakyat, poster-poster bertebaran dengan nada-nada pembangunan, membuat hati rakyat bimbang memilih siapa yang terbaik.
Makassar Sore Hari
Yah, paragraf di atas menggambarkan keadaan masyarakat dari sudut pandang orang-orang dari kalangan atas yang melihat Makassar secara overpositif dan optimis tanpa enggan melihat ke ‘bawah’. Jika dilihat secara sekilas, pemilihan wakil rakyat seolah-olah seperti arena judi dengan iming-iming pembangunan. Tentu saja, yang menjadi korban adalah masyarakat kelas bawah. Memang, kalimat di atas seolah-olah menggambarkan Makassar sebagai kota yang indah dengan pembangunan yang terjadi disemua sektor, namun jika dilihat secara mendalam, ternyata ada sesuatu yang janggal di balik semua pembangunan itu. Permasalahan-permasalahan sosial dalam masyarakat terus bertambah, penggusuran terjadi dimana-mana, kesehatan dan pendidikan menjadi mimpi belaka. Begitulah kira-kira keadaan Makassar menurut penulis dari sudut pandang sebagai masyarakat biasa.
Fakta-fakta yang penulis dapatkan di lapangan, beberapa wilayah pinggiran Makassar masuk dalam kategori daerah miskin[1] jika dilihat dari tingkat pendidikan dan penghasilan rata-rata/hari. Contohnya, masyarakat yang berada di sekitar Tanjung Bayang, Makassar, sehari-hari bekerja menawarkan jasa wahana pantai memiliki tingkat pendidikan hanya sampai sekolah menengah atas dan penghasilan rata-rata/hari yang didapat berkisar antara Rp50.000 sampai Rp70.000. Jika melihat jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari rumah tangga, nilai uang seperti itu memang cukup untuk sehari itu saja, tidak lebih. Itu salah satu penyebab tingkat pendidikan mereka sangat rendah.
Menurut Pearson Education[2], Indonesia meraih posisi terendah di dunia dalam hal pendidikan. Tentu saja, hal ini sangat memalukan bagi kita. Namun, kita juga harus mengambil sikap positif dari kritikan dunia tersebut melihat kondisi pejabat-pejabat yang setiap hari makin buncit dengan segala kemewahan, sedangkan rakyat semakin tenggelam dalam angan-angan dan janji-janji politik para wakil rakyat yang mereka tunjuk untuk mewakili aspirasi mereka. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tergolong masih kurang, sebagian dari mereka mencoba melampiaskan kekesalan mereka lewat aksi-aksi yang membuat pemerintah geram. Semua itu mereka lakukan untuk menarik perhatian pemerintah, namun tampaknya pemerintah tidak bergeming sehingga kemudian hari aksi-aksi mereka semakin mengarah ke arah yang radikal.

Vandalisme[3]
Kegiatan Vandalisme
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal adalah perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Vandalisme biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan momen, tapi dengan cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui “karyanya”. Biasanya, coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para vandalis (orang yang melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/simbol suatu kelompok, atau kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek vandalisme, tentu saja adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang. Terkadang, vandalisme dianggap sebagai bentuk kreatifitas ataupun kenakalan remaja/anak muda. Ada pula yang menganggap vandalisme merupakan sebuah hobi atau kesenian anak muda yang tidak memiliki wadah untuk menyalurkan bakat mereka, tetapi ada pula vandalisme yang merupakan sebuah bentuk gerakan perlawanan mahasiswa terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Namun, tidak menutup kemungkinan, ada juga pihak-pihak yang sengaja membayar orang untuk melakukan suatu vandalisme dengan mengatasnamakan mahasiswa demi tujuan politik.
Vandalisme memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari sudut pandang vandalisme sebagai seni yaitu menghasilkan atau membentuk karakter-karakter seniman jalanan yang selama ini kurang diperhatikan. Boleh dikatakan bahwa vandalisme sebagai bentuk publikasi karya seni. Sedangkan dilihat dari sudut pandang vandalisme sebagai bentuk perlawanan, tentunya pemerintah akan mulai peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial masyarakat. Sedangkan, dampak negatif dari vandalisme yaitu merusak bangunan-bangunan di sepanjang jalan, situs bersejarah atau cagar budaya suatu daerah. Pemerintah melarang kegiatan-kegiatan vandal dengan beberapa cara, baik secara kasar (menggerakkan aparatur kota) atau dengan cara halus seperti lomba-lomba kebersihan tingkat desa/kecamatan. Akan tetapi, aktivitas vandalis rupanya tak kunjung berhenti karena vandalisme di benak masyarakat merupakan salah satu solusi yang terbaik dan mungkin paling aman (karena pelakunya anonim/memakai alias) dalam menyampaikan kekecewaannya terhadap pemerintah setelah usaha-usaha halus dilakukan. Seperti halnya di kampus, vandalisme mungkin  suatu cara yang aman dan mampu membuat pihak birokrasi kampus peka terhadap permasalahan-permasalahan internal kampus. Vandalisme  merupakan fenomena yang muncul karena beberapa faktor, diantaranya faktor pemerintahan. Jadi, untuk meminimalisir vandalisme, kita harus mencari akar permasalahan. Pemerintah harus sadar terhadap kinerjanya selama ini dan melihat vandalisme secara positif dan mengambil makna dari coretan-coretan yang tadinya seolah-olah hanya iseng belaka.

Cagar Budaya
Makassar memiliki sejarah yang cukup panjang berkenaan dengan kolonialisme di Indonesia. Banyak bangunan-bangunan kuno pada masa kolonial yang masih berdiri hingga sekarang dan menurut beberapa orang, bangunan-bangunan tersebut sangat megah dan menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Makassar. Bisa dikatakan, bangunan-bangunan bersejarah tersebut menjadi faktor pertumbuhan perekonomian kota dan bisa menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat. Salah satu contoh, Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang menjadi salah satu ikon Kota Makassar. Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di Jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi. Selain nilai sejarah, letak Fort Rotterdam sangat strategis karena berada dekat dengan pantai. Masyarakat yang hendak tamasya ke pantai dapat langsung singgah ke Fort Rotterdam untuk sekedar melihat-lihat atau berkunjung ke Museum La Galigo yang terletak di dalam Fort Rotterdam.
Merujuk pada Undang-undang no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 43, Fort Rotterdam merupakan cagar budaya peringkat provinsi karena dapat mewakili kekhasan suatu provinsi. Menurut sejarahnya, Benteng Rotterdam di bangun oleh Raja Gowa IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona pada tahun 1545. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat dan pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Namun, setelah Perjanjian Bongaya pada tahun  1667, benteng ini diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan gaya arsitekturnya pun dibuat seperti bangunan-bangunan Belanda. Hingga sekarang, sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum La Galigo dan Kantor Dewan Kesenian Makassar.
Dalam undang-undang cagar budaya, baik UU no. 5 Tahun 1992 maupun UU no. 11 Tahun 2010, nilai penting sebuah cagar budaya merupakan otoritas dari pelestarian cagar budaya melalui penanganan fisik seperti, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah juga dikemukakan oleh James Semple Kerr dalam Asmunandar (2008), yaitu nilai sosial, nilai komersil, dan nilai ilmiah. Nilai sosial, makna bangunan-bangunan bersejarah bagi masyarakat; nilai komersil, pemanfaatan bangunan bersejarah sebagai sumber perekonomian; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang sangatlah tinggi, selain memiliki letak yang strategis, ruang yang luas membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah Fort Rotterdam hanya berlaku sekitar 1% bagi masyarakat awam, sisanya bagi para budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Sikap pemerintah selama ini sudah cukup baik dalam melaksanakan undang-undang tersebut. Tidak hanya Fort Rotterdam, bangunan kolonial lainnya juga mendapat perlakuan yang sama. Tapi, untuk nilai komersil, mungkin Fort Rotterdam masih menduduki peringkat atas. Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29 Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal. Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam.
Pariwisata semacam inipun menarik minat para pengusaha-pengusaha asing. Mereka membuka cabang-cabang usaha di sekitaran obyek-obyek wisata dan seperti yang kita lihat, Kota Makassar penuh dengan restoran-restoran cepat saji dan minimarket-minimarket yang jaraknya hanya sejengkal satu sama lainnya. Menurut penulis, hal ini sangat miris karena seharusnya yang memperoleh keuntungan dari pariwisata Makassar adalah warganya sendiri, bukannya pendatang. Warung-warung mereka tergusur (secara fisik maupun non-fisik) dengan kemegahan minimarket-minimarket. Terkadang, pedagang lokal menaikkan harga jualan mereka karena pemasukan mereka semakin hari semakin berkurang ditambah lagi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini membuat masyarakat sibuk mengurusi perutnya dan semakin kecewa dengan sikap-sikap pemerintah yang hanya sibuk mengurusi ‘tamu’nya dan tidak memperhatikan ‘diri mereka’ sendiri.

Vandalisme dan Cagar Budaya
Nah, sekarang yang jadi pertanyaan, apa hubungannya vandalisme dengan cagar budaya jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat, baik mereka yang bermukim di sekitar bangunan cagar budaya maupun para pendatang? Jika dilihat secara sekilas, memang tidak terjadi apa-apa. Namun, jika dilihat lebih mendalam, vandalisme mulai menjadi media alternatif untuk melampiaskan kekesalan mereka. Selain ulah remaja yang nakal (menuliskan namanya ke dinding-dinding bangunan), adapun tindakan-tindakan vandal yang dilakukan masyarakat sekitar, seperti mencungkil atau menjarah beberapa benda-benda cagar budaya. Selain faktor ekonomi, salah satu faktor yang memengaruhinya adalah pendidikan. Publikasi atau penyaluran informasi mengenai cagar budaya tidak sampai ke masyarakat, sehingga pengetahuan masyarakat hanya berdasarkan pengalaman saja. Sebagian dari mereka melihat bangunan-bangunan bersejarah tersebut sebagai bangunan-bangunan para penjajah tanah mereka dulu. Nilai-nilai penting menurut Kerr tadi menjadi tidak ada apa-apanya jika melihat kondisi kekinian masyarakat yang sekarang. Walaupun tidak semuanya masyarakat bersikap seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, mereka ditekan oleh permasalahan ekonomi yang semakin hari semakin bertambah.
Dampak vandalisme bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah tidak begitu menjadi persoalan, karena bagi mereka, hal tersebut tidak berpengaruh besar bagi kehidupan mereka. Penulis sempat mewawancarai salah seorang pedagang di Tanjung Bayang, beliau mengatakan, selama hal itu tidak berpengaruh terhadap penghasilannya sebagai pedagang, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Begitupun pedagang-pedagang di sekitaran Fort Rotterdam, banyak diantara mereka bahkan tidak pernah masuk ke Fort Rotterdam dan keinginan mereka untuk melestarikan Fort Rotterdam hanya dilandaskan pada perekonomian saja, coret-mencoret, tidak ada pengaruh sama sekali, yang penting ramai.
Vandalisme di Fort Rotterdam
Sikap masyarakat dalam pelestarian cagar budaya di Makassar hampir sama dengan kondisi di situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep. Masyarakat yang tidak terlalu mengetahui persoalan cagar budaya, menganggap situs-situs tersebut biasa-biasa saja! Artinya, sebagian dari mereka tidak peduli lagi dengan tempat-tempat seperti itu, bahkan situs-situs prasejarah hanya menjadi faktor sekunder dalam menunjang perekonomian mereka. Hal ini sangat mengancam pelestarian peninggalan nenek moyang mereka hanya karena persoalan ketidaktahuan dan perekonomian yang harus mereka utamakan. Jangan sampai, masyarakat yang berprofesi sebagai juru pelihara situs menganggap profesi mereka sebagai pekerjaan paruh waktu. Di satu sisi, juru pelihara harus menjalankan kewajibannya menjaga situs, di satu sisi, mereka bekerja sebagai petani untuk menghidupi keluarganya. Hal tersebut membuat iri masyarakat yang bekerja sebagai petani biasa. Mereka cemburu karena orang bekerja sebagai juru pelihara mendapat penghasilan tambahan selain bertani. Hal ini dapat menimbulkan konflik internal dalam masyarakat.
Sebagai mahasiswa arkeologi, bagaimanakah seharusnya kita bersikap? Kita memperoleh pelajaran-pelajaran dalam mata kuliah yang berkaitan dengan pelestarian cagar budaya. Namun, ketika diperhadapkan dengan permasalahan sosial seperti di atas, mungkin kita akan mengangkat tangan dan menyerahkan semuanya pada pemerintah. Terkadang kita hanya menjadi pengamat saja dan bisa saja melanjutkan kebobrokan pemerintah saat ini. Ingatkah kalian dengan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi, Pengabdian pada Masyarakat? Mungkin, diantara kalian hanya menganggap bahwa pengabdian pada masyarakat itu hanya pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) saja. Melihat UU cagar budaya, kita mempunyai kewajiban untuk melestarikan cagar budaya tersebut untuk nilai pentingnya, terkhusus nilai penting ilmiah. Tapi, kita juga masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih memikirkan persoalan perut dan ingin cepat-cepat selesai di bangku kuliah agar cepat mendapat pekerjaan. Kita sebagai mahasiswa dituntut kreatif dalam menciptakan usaha pelestarian yang sifatnya partisipatif. Mungkin pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan oleh intansi-instansi terkait cagar budaya masih kurang tepat untuk diterapkan dalam masyarakat dalam konteks kekinian. Kita yang selama ini hanya duduk, harusnya bisa menciptakan gebrakan baru untuk memajukan Kota Makassar dengan cara kita sendiri (dalam hal positif). Setidaknya, kita bisa merubah paradigma masyarakat tentang mahasiswa yang radikal dan anarkis menjadi seorang pengabdi dalam masyarakat.
Vandalisme bisa bermakna positif, bisa bermakna negatif, tergantung bagaimana kita memaknainya. Jika merujuk dari pengertiannya, tentu vandalisme merupakan kegiatan yang merusak, namun dibalik vandalisme itulah yang seharusnya dicari tahu. Mungkin, beberapa diantara kita hanya melihat vandalisme dari satu sisi saja sehingga kesimpulan yang kita ambil lebih banyak sisi negatifnya. Tapi, opini masyarakat tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, hanya perlu kita luruskan dengan cara-cara yang kreatif dan cerdik hingga kita tidak melakukan kesalahan yang sama dengan generasi sebelum kita.


Referensi:.
Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna MakassarTesis. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
BBCNews. 2012. Peringkat Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia. BBC Indonesia
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Bertahan dari Guratan Para Vandalis. Makassar: Artikel pribadi.
Chandra, Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel pribadi.
Mulyadi, Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management)Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Oktaviana, Dina N., et al. 2014. Pelestarian Situs Prasejarah Leang Kassi dan Leang Alle’ Pusae yang Berbasis Masyarakat. Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa se-Indonesia (PIAMI) XV. Makassar.
Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV). Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Republik Indonesia. 1992. Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara RI Tahun 1992. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2010. Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara RI Tahun 2010. Sekretariat Negara. Jakarta.




[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi 4, miskin yang dimaksud adalah keadaan miskin absolut dimana masyarakat hanya dapat memenuhi kebutuhan primer paling banyak untuk sehari atau seminggu saja.
[2] Sebuah lembaga survei pendidikan di Amerika Serikat.
[3] Vandalisme yang dimaksud seperti graffiti, poster-poster liar, maupun coretan-coretan di dinding-dinding bangunan umum.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Jalan-Jalan Arkeologi

Goa Pamona : Situs Religi Suku Pamona

Secara administratif, Goa Pamona terletak sekitar ±56 km dari Kota Poso, tepatnya di Desa Sangele, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Secara geografis, situs ini terletak dipinggir Danau Poso. Vegetasi sekitar situs yang dapat diidentifikasi antara lain, Pohon Beringin (Ficus benjamina), Pohon Durian (Durio zibethinus), Pohon Sukun (Artocarpus altilis), dan tanaman lainnya, seperti rumput-rumput liar. Pintu masuk situs tidak tertutup/ tidak memiliki daun pintu dan situs dikelilingi oleh pagar kawat. Terdapat 36 buah anak tangga yang bersusun dari pintu masuk situs hingga ke mulut gua. Tangga terbuat dari campuran semen dengan kondisi sekarang yang berlumut, selain itu tidak ada pegangan tangga membuat tangga tersebut agak licin.
Goa Pamona merupakan gua karst aktif dengan ukuran lebar mulut gua ±2 m dan tinggi ±0,7 m. Terdapat jalan setepak di dalam gua untuk memudahkan pengunjung memasuki gua tersebut. Panjang jalan setapak tersebut ±200 m dan setelah itu, jalan masuk gua tertutup oleh tumpukan bebatuan/ buntu. Kondisi langit-langit gua yang berlubang-lubang, membuat cahaya matahari mudah masuk sehingga membantu penerangan dalam gua walau hanya di beberapa tempat saja.
Tinggalan-tinggalan arkeologis yang ada di gua tersebut yaitu beberapa tulang belulang manusia. Tulang-tulang yang mampu diidentifikasi adalah tulang paha (Femur), tulang rusuk (Riba), tulang lengan atas (Humerus), tulang pangkal paha (Illum), dan tulang rahang bawah (Mandibula). Jumlah tulang-tulang tersebut belum sempat terhitung dan kondisi beberapa tulang hancur. Tulang-tulang tersebut ditumpuk disebelah kanan jalan setapak, ±80 m dari mulut gua. Beberapa tulang tersebut ditulis-tulisi/ vandalism. Temuan di gua ini sangat sedikit dan terpusat pada titik yang disebutkan atas.
Nama dari gua tersebut diambil dari nama suku yang mendiami wilayah Poso, Suku Pamona. Suku Pamona sendiri sebenarnya berasal dari dataran tinggi Salu Moge (Luwu Timur), namun sejak pemberontakan DI/TII, Suku Pamona tersebar hingga ke tanah Poso. Menurut sejarahnya, Goa Pamona berfungsi sebagai tempat penguburan masyarakat Suku Pamona yang berdarah bangsawan.
Saat ini, Goa Pamona telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya dibawah pengawasan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, yang kantornya berpusat di Gorontalo. Goa Pamona juga merupakan objek wisata yang ditawarkan oleh pemerintah Sulawesi Tengah kepada para turis-turis lokal maupun asing. Walaupun begitu, akses menuju ke Goa Pamona kurang baik dan untuk saat ini, gua tersebut sangat jarang dikunjungi.
Pandangan masyarakat terhadap gua tersebut masih sacral dan cenderung mistis. Tetapi, banyak pasangan-pasangan kawula muda yang berkunjung ke gua tersebut dengan tujuan yang tidak baik. Terlebih lagi, mereka adalah penduduk sekitar situs yang seharusnya menjaga situs itu seperti milik mereka sendiri.
Harapan penulis ke depan, semoga pemerintah dan masyarakat bekerja sama terhadap pelestarian Cagar Budaya, khususnya Goa Pamona karena dilihat dari nilai pentingnya, Goa Pamona sangat berpengaruh terhadap sejarah Suku Pamona sendiri dan juga nilai-nilai religi dan edukasi bagi generasi Pamona yang sekarang. Menjaga nilai luhur (yang baik) dari masa lampau akan membuat masa depan menjadi baik. 

Foto-foto di Goa Pamona.