Jika berbicara
mengenai sejarah perkembangan arkeologi secara umum, pasti erat kaitannya
dengan harta karun. Para pemburu harta karun (treasure hunter) atau antiquarian yang selalu melakukan kegiatan
pencarian benda-benda kuno menjadikan hobi mereka sebagai fondasi kemunculan
arkeologi saat ini. Perkembangan arkeologi menuju ilmu pengetahuan sangat
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan kemajuan pemikiran
filsafat yang berdampak pada paradigma arkeologi, serta perkembangan teknologi
yang mempermudah pekerjaan para arkeolog. Rasa haus akan ilmu pengetahuan
tersebut memaksa manusia untuk melakukan ‘ekspansi’ ke seluruh pelosok bumi
untuk menemukan peradaban kuno, tentunya hal tersebut masih sangat familiar
dengan hobi saat kemunculan awal arkeologi. Ekspansi yang dilakukan pada saat
itu tentunya memiliki keterbatasan dari aspek ruang, yakni hanya di darat saja
dalam artian, ekspansi yang dilakukan tidak mencangkup keseluruhan wilayah di
bumi. Bagaimana dengan air? Bumi ini hampir seluruhnya terdiri dari air, baik
itu yang nampak dipermukaan atau yang mengalir dibawah tanah.
Nah, tulisan kali
ini akan membahas mengenai ekspansi pengetahuan mengenai benda-benda kuno (baik
arkeolog atau para antiquarian) di wilayah perairan terbuka, khususnya
tinggalan-tinggalan kuno di bawah air. Fokus utama dari tulisan ini adalah
sejarah perkembangan Arkeologi Bawah Air (ABA) yang merupakan bagian dari
Arkeologi Maritim (AM). Kajian ABA adalah tinggalan-tinggalan arkeologis yang
berada dibawah air[3].
Bedanya dengan AM adalah dari segi cakupan ruang penelitian, dimana cakupan
kajian AM lebih luas daripada ABA karena AM juga membahas mengenai kehidupan
pesisir dan kebudayaan-kebudayaan yang identik dengan adaptasi manusia terhadap
kehidupan di wilayah sekitar perairan. Secara umum, kemunculan ABA sama seperti
kemunculan arkeologi yang pada awalnya terjadi akibat faktor ketidaksengajaan
dan hobi. Tidak usah berpanjang lebar, kita langsung saja memulai
pembahasannya.
The Shipwreck’s Treasure
Sebenarnya,
kegiatan pencarian benda-benda berharga di perairan terbuka telah dimulai
semenjak adanya aktivitas pengiriman barang lintas pulau. Yah, tentu saja tidak
semua kapal yang sampai ke tujuan dengan teknologi perkapalan saat itu (bahkan
sampai sekarang). Kondisi badai di laut yang ekstrim dan kemampuan kapal
berlayar, apalagi kapal-kapal ini memanfaatkan tenaga angin, tentu
mengakibatkan karamnya kapal-kapal tersebut. Selain itu, aktivitas pengiriman
barang-barang tersebut telah menarik perhatian para perompak-perompak untuk
melakukan penjarahan. Kekacauan yang disebabkan perompak tersebut, ditambah
kondisi laut yang terkadang tidak dapat diprediksi juga menjadi penyebab
musibah kapal karam. Tak hanya itu, kapal-kapal para bajak laut itu juga ikut
tenggelam bersama harta hasil jarahan mereka. Dimulailah petualangan mencari harta
karun dasar laut tersebut. Sebagai bukti, sejarah Yunani yang di tulis oleh
Herodotus mencatat bahwa ada seorang penyelam bernama Scyllis yang dipekerjakan
Raja Persia Xerxes untuk mengambil harta karun yang tenggelam pada abad ke 5
SM.
Selain harta
karun, pencarian kapal-kapal karam juga ada mulai banyak dilakukan. Sejarah
mencatat bahwa pada awalnya, penemuan kapal-kapal karam terjadi karena faktor
ketidaksengajaan. Pada abad XI, Abbat Ealdred dan St. Albans mengirimkan
orang-orangnya ke reruntuhan Verulamium untuk mengumpulkan batu-batuan untuk
membangun Biara barunya. Selama memgumpulkan batu-batuan terebut, secara tidak
sengaja mereka menemukan kayu dan paku yang merupakan bagian dari tiang puncak
sebuah kapal. Pada tahun 1446, Leon Battuta Alberti melakukan penyelaman untuk
melakukan penyelamatan terhadap kapal-kapal Romawi yang karam di danau Nemi,
Italia. Sedangkan pada tahun 1535, Francisco Demarchi melakukan penelitian
kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia (Mulyadi, 2015).
Pada mulanya,
aktivitas pencarian benda-benda antik didasar laut hanya difokuskan pada kapal
karam beserta muatan-muatannya dengan tujuan ekonomi dan sekedar hobi. Aktivitas
menyelam tersebut dilakukan di perairan Italia dan kawasan Laut Tengah yang
memisahkan Benua Eropa dan Benua Afrika pada abad XVII yang diprakarsai oleh
Bells. Akan tetapi sejak ditemukannya reruntuhan-reruntuhan kuno, bekas
peradaban manusia yang tenggelam di dasar laut, aktivitas pencarian harta karun
di dasar laut bertambah. Aktivitas bawar air tersebut mulai sering dilakukan
seiring kemajuan teknologi selam yang dimulai sejak penemuan diving suit oleh John Lethbridge pada
tahun 1715.
Arkeolog dan Poseidon
Jika melihat
sejarah perkembangan aktivitas penyelaman tersebut, kita dapat menarik benang
merah antara arkeologi dengan perburuan harta tersebut. Terkadang para pemburu
harta karun menggabungkannya juga dengan penyelidikan arkeologi yang sebenarnya
(Muckelroy, 1978 : 45). Penggunaan metode-metode arkeologi dalam pencarian
harta karun tersebut kemudian menjadi cikal bakal lahirnya studi ABA. Maka,
pada tahun 1939 munculah usulan untuk melakukan penelitian ABA yang dicetuskan
oleh George Bass yang melihat potensi tinggalan-tinggalan arkeologis di bawah air.
Penelitian-penelitian tersebut semakin efisien sejak penemuan peralatan selam
Scuba oleh Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada tahun 1943. Penelitian
tersebut masih sangat tebatas karena izin yang dipegang para arkeolog masih kurang.
Setelah perang
dunia II berakhir arkeologi bawah air mulai berkembang dengan di lakukannya
beberapa penelitian arkeologi bawah air di berbagai lokasi, seperti di Laut
Mediterania dan Herculaneum pada tahun 1958, Mexico Underwater Archaeologi
Society mendirikan CEDAM, sebuah organisasi yang mengkoordinir kegiatan
Arkeologi Bawah Air dan melindungi situs-situsnya. Pada tahun 1959, UNESCO
memberikan keputusan untuk dilakukannya berbagai ekspedisi ABA. Pada tahun 1973
Australia, UU Arkeologi Maritim Australia Barat disahkan untuk melindungi kapal
karam sebelum tahun 1900. Kemudian, Pada tahun 1974 bermunculan institusi yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan arkeologi
bawah air, seperti Universitas Calefornia, Sandiago, Universitas Haifa di
Israel dan Universitas Australia Barat di Fremantle.
Tahun 1976,
dikembangkan Aksi Sejarah Kapal Karam oleh pemerintah federal Australia yang
menjadi tonggak penting bagi manajemen kapal karam di Australia. Selain itu,
pada saat yang sama, muncul organisasi-organisasi berbasis hobi pada aktivitas
menyelam dan bangkai-bangkai karam yang secara sukarela membantu
kegiatan-kegiatan penelitian bawah air. Organisasi-organisasi ini mendorong
pemerintah untuk membuat UU kapal karam dan manajemen lembaga sejarah. Definisi
mengenai ABA juga telah menjadi luas dan objek utama penelitian AM dan ABA
adalah orangnya, bukan hanya kapalnya (Muckelroy, 1978). Namun pendapat tersebut banyak ditentang oleh
para ahli arkeologi maritim awal. Sesuai dengan gerakan ke arah CRM, ekskavasi
terbatas, pengumpulan data yang berbasis pada pemulihan permukaan, metode
pengambilan sampel dan penelitian sejarah, menjadi pilihan untuk kajian kapal
karam akhir 1980an dan awal 1990an. (McCarthy dalam Staniforth dan Nash, 2006 :
3). Hal tersebut tentu saja berdampak bagi perkembangan ABA di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Arkeologi Bawah Air di Nusantara
Di Indonesia, AM
terkenal dikalangan arkeolog lewat penelitian perahu kuno yang dipelopori oleh
Pierre-Yves Manguin pada tahun 1977 dan ABA mulai dilirik oleh arkeolog pada
tahun 1978, namun hal tersebut menemui berbagai kendala, seperti peralatan yang
mahal ditambah kemampuan menyelam arkeolog kurang. Akhirnya, pada 1979, seorang
tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA
yang dikaitkan dengan AM di Thailand. Penelitian itu dimulai pada 1980, ketika
SPAFA (Organisasi Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ASEAN)
menyelenggarakan program ABA dan AM. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1981,
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menguji coba kegiatan ABA,
bekerja sama dengan Pasukan Katak dari Armada RI Wilayah Timur (Susantio, 2010).
Secara institusional, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan membentuk Seksi
Pengendalian Peninggalan Bawah air yang bertugas mengurusi peninggalan
sumberdaya budaya bawah air. Perkembangan ABA pun mulai berkembang pesat dengan
alasan bahwa sumberdaya budaya di bawah air di Indonesia sangat melimpah dan juga
ketakutan para peneliti akan adanya aktivitas penjarahan tinggalan-tinggalan
arkeologis tersebut. Institusi arkeologi juga melakukan kegiatan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka menambah sumberdaya manusia di bidang ABA, yang selama
ini jumlahnya sangat kurang (Hakim, 2013).
Berdasarkan sumber Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) Oceanologi tahun 2006, tercatat sekitar 463 titik situs
ABA, Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda sekitar 245 kapal VOC, dan Tony
Wells’s Shipwrecks & Sunken Tresure,
sekitar 186 kapal VOC. Kegiatan penelitian terhadap situs-situs
bawah air gencar dilakukan di perairan nusantara, misalnya penelitian pada
tahun 1990an di Pulau Buaya, kapal kargo Tak Sing, Intan, Tang, Nlanakan, Wreck
dan tahun 2000an dilakukan penelitian di Selat Karimata, Perairan Utara Cirebon,
Karang Haleputan Riau, Batang Selatan Riau, Karang Tombak, Bintang Utara Riau.
Kegiatan survei ABA juga sudah banyak dilakukan seperti kegiatan survei yang
diprogramkan oleh BPPP Makassar setiap tahunnya (Hakim, 2013).
Referensi
Hakim, Lukman.
2013. Sejarah dan Ruang Lingkup Arkeologi
Bawah Air, (Online), (http://belajarjadiarkeolog.blogspot.com, diakses 9
Februari 2015).
Komunitas Diving
PARADISE Universitas Padjajaran. 2010. Sejarah
Selam, (Online), (http://paradiseunpad.blogspot.com, diakses 9
Februari 2015).
McCarthy,
Michael. 2006. Maritime Archaeology in Autralasia: Reviews and Overviews. Dalam
Mark Staniforth & Michael Nash (Eds.), Maritime
Archaeology Australian Approaches (hlm.
1-12). New York: Springer.
Muckelroy,
Keith. 1978. Maritime Archaeology.
New York: Cambridge University Press.
Mulyadi, Yadi.
2015. “Arkeologi Bawah Air”. Bahan Ajar.
Makassar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Susantio,
Djulianto. 2010. Arkeologi Maritim dan
Arkeologi Bawah Air, (Online), (https://hurahura.wordpress.com/, diakses 9
Februari 2015).
[1] Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspansi adalah perluasan wilayah/daerah dengan
menduduki wilayah lain.
[2] Poseidon (Poseidó̱n) adalah
dewa penguasa laut, sungai, dan danau dalam mitologi Yunani. Sering juga
dianggap sebagai laut itu sendiri.
[3] Yang dimaksud
air dalam tulisan ini adalah perairan tebuka, seperti laut, danau, sungai, dan
rawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar