1. Pendahuluan
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, ekologi adalah ilmu tentang hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya
(lingkungannya). Ekologi tentu erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,
entah dimana lingkungannya, pastilah mempengaruhi tingkah laku manusia
tersebut. Dalam ilmu psikologi, ada tiga teori psikologi dalam memprediksi
perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan dari dalam, kedua, perilaku
disebabkan faktor lingkungan atau proses belajar, ketiga, perilaku disebabkan
oleh interaksi manusia–lingkungan (A.F. Helmi, 1999:1). Teori ini tentu saja
sangat berkaitan dengan ekologi jika ditinjau dari segi psikologis. Selain itu,
kondisi alam juga terkait dengan pekerjaan pokok masyarakat dan perekonomian.
Masyarakat agraris erat kaitannya dengan sumber perekonomian yang berasal dari
lahan pertanian, sedangkan masyarakat maritim erat kaitannya dengan sumber
perekonomian yang berasal dari lautan.
Pada tulisan
ini, akan ditekankan pada masyarakat pesisir/ maritim, sesuai dengan hasil
observasi lapangan yang dilakukan oleh penulis.
Dalam kehidupan maritim juga dikenal dengan sosial budaya bahari. Menurut Koentjaraningrat
menerapkan konsep “tiga wujud kebudayaan”, menurut Sanjek menerapkan konsep
“kreasi dan dinamika budaya”, dan menurut Vayda menerapkan metode penjelasan
progresif kontekstual” sebagai model deskripsi, penjelasan dan analisis secara
empirik. Wujud budaya bahari nelayan ialah sistem budaya (meliputi terutama sistem-sistem
pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan daftar kebutuhan serta cita-cita dalam
kognitifnya), kelembagaan (organisasi, kelompok kerjasama nelayan, hak-hak pemilikan/kontrol
atas wilayah dan sumberdaya laut), dan teknologi (sarana/prasarana transportasi
laut, sarana penggerak berupa layar, mesin, alat-alat tangkap, perlengkapan fisik
lainnya).
Pada tulisan
kali ini, penulis mengambil objek di daerah pesisir, tepatnya di Tanjung
Bayang, Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan.
Dari Kota Makassar, Tanjung Bayang berjarak kira-kira 4 km ke arah barat. Alasan
penulis memilih objek tersebut dikarenakan kehidupan para penjual dan pekerja
jasa hiburan tersebut layaknya kehidupan nelayan pada umumnya dimana ada
majikan dan pekerja atau yang masyarakat Makassar kenal sebagai punggawa-sawi. Adanya ‘transformasi
profesi’ yang tidak meninggalkan ciri-ciri profei sebelumnya, yaitu dari
profesi nelayan menjadi pekerja jasa hiburan tapi tetap memegang ciri-ciri yang
ada pada kehidupan nelayan.
2. Maritim,
Masyarakat, dan Lingkungan Modern
Sebenarnya,
kata modern kurang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia
karena sangat ambivalen[1],
dimana masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan
peralatan-peralatan tradisional dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kata
modern yang dimaksud adalah penggunaan teknologi dan juga kehidupan masyarakat
yang mainstream. Banyak masyarakat mulai ikut-ikutan dengan perkembangan zaman
yang ada meskipun, kebiasaan-kebiasaan lama tidak ditinggalkan. Tak
terlepas dari kehidupan pesisir, masyarakat disana juga ternyata mengikuti
perkembangan zaman walaupun tak semaju kehidupan di kota. Kondisi lingkungan
tersebut mempengaruhi sebagian dari kehidupan mereka, mulai dari segi
pekerjaan.
Tradisi
kemaritiman adalah kebiasaan masyarakat maritim nusantara yang sudah dilakukan
sejak lama. Biasanya tradisi maritim berkaitan dengan fase-fase pembuatan kapal
(Safri Burhanuddin, dkk, 2003:173), tetapi jika melihat kondisi yang sekarang,
tradisi tersebut mulai hilang. Memang, fase pembuatan kapal sudah hilang, namun
tradisi-tradisi seperti mitos-mitos pelaut, sesajen, dan sistem dalam
masyarakat maritim tersebut masih ada. Walaupun lingkungan sudah mulai memasuki
fase ‘modern’, tapi ideologi nenek moyang masih tetap tersimpan walau hanya
sedikit yang dapat dipertahankan pada kehidupan masyarakat pesisir sekarang.
3. Ekologi
Tanjung Bayang
Tanjung Bayang
terletak di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulawesi
Selatan. Tanjung Bayang yang merupakan daerah pesisir kini lebih dikenal
sebagai lokasi wisata pantai. Profesi masyarakat sekitar Tanjung Bayang
kebanyakan adalah penjual dan pekerja jasa hiburan. Kondisi lingkungannya yang
berpasir sangat cocok sebagai tempat berwisata. Melihat hal tersebut,
masyarakat mulai memanfaatkan sumber daya yang ada dan mengubah cara hidup
mereka yang dari awalnya merupakan tempat bagi para nelayan, sekarang menjadi
tempat wisata. Walaupun begitu, masyarakat hanya beralih profesi saja, mereka
tidak meninggalkan kebudayaan yang sering disebut punggawa-sawi. Punggawa, dalam hal ini majikan, yang awalnya
mempekerjakan orang (sawi) untuk melaut, sekarang mereka mencari pekerja jasa
hiburan. Hiburan/ wahana pantai yang ditawarkan yaitu Banana Boat dan kapal bebek.
Salah satu
pekerja jasa hiburan bernama Akbar mengaku dipekerjakan oleh Ibu Tanning yang
merupakan tetangga dekatnya. Hal ini sangat mirip dengan halnya sistem
punggawa-sawi. Pada awalnya, Ayah dari Ibu Tanning merupakan juragan nelayan
ditempat tersebut, kini, sejak 10 tahun terakhir ketika Tanjung Bayang menjadi
lokasi wisata, Ibu Tanning memanfaatkan kapal-kapal nelayan yang ia miliki
untuk dipakai sebagai Banana Boat. Selain sistem punggawa sawi, ternyata
pekerja jasa hiburan maupun penjual memiliki kepercayaan terhadap mitos-mitos
tentang laut, seperti menaruh sesajen ditengah laut pada hari-hari tertentu.
Ditengah lingkungan dimana kebudayaan lokal sedang tergeser oleh westernisasi, mereka berusaha
mempertahankan kebudayaan asli, meskipun tidak semuanya. Sebenarnya, hal
tersebut yang membuat suatu daerah terlihat unik.
4. Separuh
Perjalanan...
Zaman
memang selalu berubah-ubah dan menciptakan warnanya sendiri. Walaupun berubah,
tentunya warna dasar tetap ada dan mungkin menghilang. Kehidupan sekarang
merupakan kehidupan masa lampau yang dipoles oleh waktu. Penulis menyimpulkan
bahwa kehidupan maritim di Tanjung Bayang memiliki beberapa kemiripan dengan
kehidupan nelayan pada umunya. Contohnya pada penelitian hari kelima, Akbar
yang seorang pekerja jasa hiburan berperan sebagai Sawi, sedangkan majikannya berperan sebagai Punggawa. Mungkin yang membedakan hanya profesi saja, dimana mereka
tidak lagi melaut, tetapi pekerjaan yang memanfaatkan keindahan pantai Tanjung
Bayang.
Selain
itu, para penjual-penjual di sekitar Tanjung Bayang memanfaatkan jumlah
pengunjung yang ada. Diperkirakan jumlah pengunjung dalam sehari berkisar dari
500 orang sampai 1000 orang. Tentu, Tanjung Bayang menjadi lahan ekonomi yang
menjanjikan bagi para penjual-penjual ini. Kecuali, pada hari-hari dengan cuaca
yang kurang baik, pengunjung yang datang kurang ramai.
Entah
berapa lama lagi perjalanan yang ditempuh oleh kebudayaan untuk berubah
seutuhnya atau sebaliknya, kembali ke asal. Sesungguhnya, masyarakat sendirilah
yang menentukan ke arah mana kebudayaan mereka dibawa.
KEPUSTAKAAN
Budiawan,
Ambivalensi: Post-Kolonialisme Membedah
Musik Hingga Agama di Indonesia (Jakarta: Jalasutra, 2010)
Burhanuddin,
Safri, dkk, Sejarah Maritim Indonesia
(Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset
Kelautan Perikanan (BRKP), dan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Helmi, A.F., “Beberapa
Teori Psikologi Lingkungan”, Buletin
Psikologi, Tahun VII, 2 Desember 1999.
[1] Budiawan, Ambivalensi Post-Kolonialisme
Membedah Musik Sampai Agama di Indonesia (Jakarta, Jalasutra : 2010), perihal.
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar