Abstrak
Aktivitas
manusia selalu erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Kemampuan
adaptasi manusia terhadap lingkungannya sangat baik sehingga mampu memanfaatkan
ruang yang ada, termasuk wilayah maritim. Fokus tulisan ini diarahkan pada
relasi antara aktivitas menyelam sebagai salah satu bentuk budaya maritim
dengan cerita rakyat (folklore), oseanografi, dan klimatologi. Kesimpulan dari
tulisan ini adalah terciptanya relasi-relasi antar pokok bahasan. Ada tiga
relasi yang tercipta, yaitu relasi penyelaman dengan folklore-oseanografi;
relasi penyelaman dengan folklore-klimatologi; dan relasi penyelaman dengan
oseanogafi-klimatologi.
Kata kunci: lingkungan,
selam, cerita rakyat, oseanografi, klimatologi
1. Pendahuluan
Aktivitas
manusia selalu erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup, baik dalam
bentuk material/fisik maupun pengetahuan yang bersifat abstrak. Pemenuhan
kebutuhan hidup tersebut tentunya mengalami serangkaian proses adaptasi yang
memungkinkan manusia untuk bisa bertahan lama di suatu tempat atau biasa
disebut lingkungan hidupnya (human
environment). Secara garis besar, lingkungan hidup manusia terbagi atas
tiga yaitu, abiotik, biotik, dan sosial (Ritonga, 2001:24; Matsum, 2001).
Interaksi manusia terhadap unsur-unsur lingkungan melahirkan hubungan
timbal-balik antara manusia dengan lingkungan sekitarnya (simbiosis). Hubungan
timbal-balik ini memerlukan jangka waktu yang lama dan berkelanjutan serta
perlu kesesuaian karakteristik antara manusia dengan lingkungannya (Soeharto,
2004). Hubungan tersebut menimbulkan ketergantungan oleh manusia terhadap alam
sekitarnya. Salah satu akibat dari ketergantungan manusia tersebut menimbulkan
usaha kreatif dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya demi
kelangsungan hidupnya (Chandra, 2014:3).
Secara
geografis, manusia dapat beradaptasi dengan baik, di darat (dataran rendah dan
dataran tinggi) maupun di wilayah pesisir, bahkan di perairan terbuka. Hampir
tidak ada batasan bagi manusia untuk tidak mampu beradaptasi. Pada tulisan kali
ini, pembahasan hanya difokuskan pada interaksi manusia terhadap kehidupan
dipesisir dan adaptasinya terhadap lingkungan di perairan terbuka. Batasan
pembahasan pada tulisan ini adalah mengenai hubungan antara aktivitas
penyelaman dengan kearifan lokal masyarakat maritim (local wisdom) serta peran ilmu-ilmu yang terkait seperti
oseanografi dan klimatologi. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui
relasi antara aktivitas penyelaman dengan cerita rakyat/mitos (folklore) sebagai salah satu bentuk
kearifan lokal, oseanografi, dan klimatologi.
2. Kebudayaan
Maritim: Aktivitas dan Mitos Masyarakat di Perairan Terbuka
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, maritim merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan aktivitas di perairan, pelayaran, dan perkapalan. Maka, kebudayaan
maritim bisa kita simpulkan sebagai suatu kebudayaan yang manusia ciptakan oleh
karena adaptasi dan interkasinya dengan kehidupan perairan terbuka, baik di
laut, danau, sungai, maupun rawa. Maritim menghasilkan budaya yang beragam,
mulai dari teknologi, kepercayaan masyarakat, hingga usaha untuk memenuhi
kebutuhan jasmani mereka (baca: makanan).
Aktivitas
maritim ini telah dimulai sejak manusia mengembangkan kemampuan bertahan hidup
di pesisir. Mereka mulai mengenal sistem perekonomian dan menciptakan kondisi
layak untuk tinggal di wilayah pesisir[1]. Dilihat
dari segi mata pencaharian, masyarakat pesisir juga disebut sebagai masyarakat
nelayan karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan (Kusnadi,
2010). Secara ekologis, masyarakat pesisir mempunyai alternatif pemanfaatan dua
lingkungan hidup, yaitu daratan dan lautan. Bagi masyarakat nelayan, komoditi
ekonomi selain kegiatan melaut merupakan mata pencaharian tambahan, sedangkan
pada masyarakat petani[2],
keadaan ini berlaku sebaliknya, yaitu sektor perikanan adalah sebagai bentuk
mata pencaharian tambahan (Koentjaraningrat, 1990:32). Sejak dahulu, manusia
telah memahami dan menghayati kegunaan laut sebagai sarana untuk menunjang
kehidupan yaitu sebagai alat perdagangan maupun jalur komunikasi (Anwar, 2013).
Fernard Braudel
(dalam Burhanuddin, 2003:6) mengatakan bahwa laut/perairan terbuka menciptakan
dinamika yang menjembatani interaksi sosial masyarakat melalui transportasi dan
perdagangan. Selain teknologi yang mempermudah mereka untuk mencari makanan
seperti alat transportasi berupa perahu, mereka juga mengembangkan kemampuan
fisik mereka untuk beradaptasi dengan air, contohnya berenang dan menyelam.
Aktivitas di air
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pun terkait erat dengan budaya yang
melingkupi kondisi sosial masyarakatnya. Bagi masyarakat maritim/nelayan,
kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai
pedoman hidup, sumber norma sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi
dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing,
1989:68-69). Kearifan lokal dalam tradisi yang merupakan wujud adaptasi dan
hasil olah pikir para pendahulu diturunkan dari generasi ke generasi
menciptakan suatu sistem aturan adat maritim, salah satunya sistem kepercayaan
dalam bentuk doa-doa/mantera, tari-tarian, syair, ritual tolak bala, dsb.
(Noorduyn, 1957; Mahzim, 2005). Sistem aturan dan kepercayaan tersebut saling
terkait erat. Salah satu wujud dari kearifan lokal tersebut adalah cerita
rakyat/mitos (folklore) yang
berkenaan dengan kehidupan maritim. Sampai sekarang, cerita rakyat tersebut
masih ada di masyarakat maritim. Bagi masyarakat maritim, cerita-cerita rakyat
tersebut sangat bepengaruh terhadap keseharian mereka, khususnya pada mata
pencaharian mereka.
Seperti yang
telah diungkap sebelumnya bahwa selain teknologi perahu, mereka juga
mengembangkan kemampuan fisik mereka dalam hal berenang dan menyelam. Berenang
dan menyelam biasanya dilakukan di wilayah perairan dangkal. Kegiatan tersebut
biasanya dilakukan berkelompok karena keterbatasan kemampuan fisik manusia dan
rumitnya proses kerja. Keterlibatan individu lain dalam suatu aktivitas sangat
diperlukan, baik sebagai pengarah, tenaga pembantu, mitra kerja, penampung
hasil tangkapan, dan sosok individu yang memberikan petunjuk gaib[3]
(Moeis, 2008:8-9). Selain itu, adapun kemunculan sosok-sosok gaib dalam mitos
masyarakat, contohnya sosok Nyai Roro Kidul serta tempat-tempat tertentu yang
dianggap sakral dan dimanfaatkan sebagai aktivitas religius oleh masyarakat di
sepanjang pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Mitos-mitos ini menghasilkan
berbagai larangan-larangan melaut yang biasa disebut pamali. Larangan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kegiatan
melaut, termasuk berenang dan menyelam. Pamali
tersebut diturunkan dari generasi berikutnya dalam bentuk folklore[4]. Jadi, bisa disimpulkan bahwa aktivitas
melaut dan menyelam terkait erat dengan aturan-aturan adat dan mitos-mitos
dalam masyarakat.
3. Aktivitas
Menyelam dan Ilmu Pengetahuan (Oseanografi dan Klimatologi)
Pada pembahasan
sebelumnya, telah dipaparkan sedikit mengenai hubungan antara aktivitas
menyelam dengan folklore sebagai
salah satu bentuk kearifan lokal. Seiring berkembangnya zaman,
kepercayaan-kepercayaan masyarakat pendahulu telah tergantikan dengan ilmu
pengetahuan yang “sedikit” lebih akurat. Ilmu pengetahuan tersebut rupanya
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dahulu jawabannya selalu dikaitkan
dengan hal-hal gaib menjadi masuk akal. Ilmu pengetahuan yang baru ini
memberikan penjelasan-penjelasan lebih ilmiah ketimbang folklore, namun apakah itu berpengaruh dengan aktivitas menyelam.
Selanjutkan, penulis akan mencoba menguraikan relasi antara aktivitas menyelam
dengan oseanografi dengan klimatologi.
3.1. Oseanografi
Pada awalnya,
laut dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian. Selain itu, laut juga
dimanfaatkan untuk transportasi dengan memanfaatkan angin. Bahkan sampai saat
ini, kapal kargo masih mengantar barang lintas pulau. Hari ini, makanan dan
transportasi yang kita manfaatkan berasal dari laut. Para saintis telah
mempelajari laut untuk waktu yang lama. Namun, akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20, kebanyakan orang yang tertarik untuk mempelajari aspek tertentu
dari laut. Sebagai contoh, beberapa orang yang tertarik pada biota laut, yang
lain tertarik pada kondisi cuaca di laut, seperti badai dan ada beberapa yang ingin
tahu tentang arus laut dan angin sehingga mereka bisa melakukan perjalanan
lebih cepat dan aman. Sekitar seabad yang lalu, para ilmuwan laut mulai
menyadari bahwa semua aspek laut dapat disatukan; Sebagai contoh, arus laut
(fisika) dapat mengontrol biota (biologi) yang melimpah di laut, karena arus
laut membawa zat kimia khusus (kimia) yang diperlukan untuk mempertahankan tanaman
laut seperti plankton (geologi). Alih-alih menjadi ahli biologi, ahli kimia,
ahli geologi, ahli fisika, dll. yang mempelajari laut, mereka mulai belajar
tentang ilmu mereka satu sama dan menjadikan mereka sebagai oseanografer.
Demikianlah sejarah kemunculan oseanografi (ilmu kelautan) yang sangat
berhubungan ekologi laut dan juga sebagai bagian dari perkembangan ilmu
pengetahuan karena oseanografi tergolong ilmu yang baru (Noyes, 2015:1-2,7).
Jika dihubungkan
dengan aktivitas selam, maka oseanografi lebih mengarah ke penelitian mengenai
ekologi laut. Selain itu, oseanografi juga dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi
selam seperti kapal selam (submarine),
tentunya sebagai penunjang penelitian ekologi di bawah air. Contoh pengembangan
teknologi selam yang termukhtahir pada awal tahun 2000-an adalah Kapal selam
Autonomous yang dapat diprogram untuk melakukan penyelaman tanpa awak dan
prosedur penelitian oseanografi fisik (Tomczak, 2000:109). Selain teknologi
selam, seperti kapal selam, penelitian oseanografi fisik juga memberikan
pengetahuan tentang tekanan yang diterima pada saat manusia menyelam sangat
berbeda dengan tekanan yang diterima oleh biota laut. Kemampuan menyelam dan
ketahanan manusia terhadap tekanan bawar air mempengaruhi seberapa dalam
manusia tersebut dapat menyelam dan katup-katup yang terdapat di saluran
pernapasan dan rongga-rongga tubuh yang lain mengalami kerusakan apabila
manusia melewati batas penyelaman. Biota laut memiliki fisik berongga dan
bersifat hidrodinamis sehingga tahan terhadap tekanan air laut, sangat berbeda
dengan tubuh manusia yang terisi oleh udara (Karp-Boss, 2009:15-16).
Sudah terlihat jelas
mengenai keterhubungan antara aktivitas selam dengan oseanografi. Penyelaman
merupakan salah satu cara untuk menunjang aktivitas penelitian bawah laut.
Selain itu, penyelaman dalam oseanografi tidak hanya terbatas pada tenaga
manusia, melainkan perkembangan teknologi kapal selam juga turut membantu dan
memudahkan manusia untuk melakukan penelitian-penelitian oseanografi.
3.2. Klimatologi
Klimatologi
adalah studi ilmiah mengenai iklim. Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata yang
diperoleh melalui sintesis unsur cuaca yang berlaku selama 30-35 tahun. Cuaca
dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer di suatu tempat atau lokasi
tertentu pada waktu tertentu. Unsur-unsur cuaca yaitu sinar matahari, suhu,
tekanan, curah hujan, kelembaban, penguapan, kondisi angin dll. Dengan demikian
klimatologi berusaha memberikan pemahaman tentang sistem kerja iklim di bumi, variasinya
antar waktu dan ruang dan pemanfaatan sumber daya yang disediakan oleh iklim
(Bello, 2011).
Klimatologi telah menjadi cabang
ilmu pengetahuan yang dinamis dan fungsional. Perkembangan penelitian
klimatologi di arahkan berbagai bidang yang kinerjanya sangat teknis, seperti
pertanian, kehutanan, ekosistem, energi, industri, produksi dan distribusi
barang, desain rekayasa dan konstruksi, transportasi, pariwisata, asuransi
sumber daya air dan pengelolaan bencana, perikanan, dan pembangunan pesisir
(World Meteorological Organization, 2010:7-8).
Oleh karena secara geografis
klimatologi mencangkup semua aspek ekologis, maka kehidupan pesisir tentu juga
berpengaruh, begitupun dengan aktivitas selam. Kondisi cuaca, angin, dan juga
arus laut adalah faktor yang sangat mempengaruhi kegiatan menyelam, baik dengan
tujuan penelitian maupun sebagai mata pencaharian. Tradisi masyarakat masa lalu
juga memperhitungkan cuaca dan hari baik untuk berkegiatan di laut dengan
melihat tanda-tanda alam. Hal tersebut dapat menjadi benang merah antara diving dengan folklore dan klimatologi.
4. Relasi
Aktivitas Menyelam dengan Folklore,
Oseanografi, dan klimatologi
Menyelam
merupakan salah satu bentuk tradisi masyarakat maritim. Kemampuan untuk
beraktivitas dan kontak fisik dengan air/bawah air dimanfaatkan untuk
menghasilkan kebutuhan pokok maupun komoditi (perekonomian). Selain itu,
menyelam juga memiliki kegunaan lain dibidang ilmu pengetahuan. Aktivitas
menyelam dapat menjadi contoh eksperimen atau penelitian yang berkenaan dengan
sistem ekologi di bawah air. Pengetahuan mengenai perairan juga sangat
dibutuhkan dalam melakukan penyelaman dengan mempertimbangkan segala resikonya.
Tradisi maupun ilmu pengetahuan saling terkait satu sama lain, baik secara
teoritis maupun metodologis.
Pembahasan-pembahasan
sebelumnya menitik beratkan pada folklore,
oseanografi, dan klimatologi. Ketiganya mempunyai keterkaitan dengan aktivitas
menyelam. Namun secara spesifik, penulis membagi relasi antara aktivitas selam
dengan tiga pokok bahasan menjadi tiga, yaitu: pertama adalah relasi penyelaman
dengan folklore-oseanografi. Folklore memiliki aturan-aturan yang
membatasi area penyelaman hanya pada wilayah perairan dangkal, hal itu sangat
terkait dengan penelitian-penelitian oseanogafi yang membuktikan keterbatasan
manusia di kedalaman air. Selain itu, folklore
memberikan pengetahuan untuk melestarikan ekosistem laut, begitupun dengan
oseanografi; kedua adalah relasi penyelaman dengan folklore-kilmatologi. Relasi ini terkait erat dengan iklim wilayah
pesisir. Kepercayaan masyarakat pesisir mengenai hari baik dan hari buruk
dengan melihat tanda-tanda alam merupakan salah satu bentuk praktis dari
klimatologi. Cuaca mempengaruhi aktivitas melaut masyarakat nelayan secara
terus-menerus dan akhirnya, pengetahuan mereka tentang cuaca diturunkan ke
generasi selanjutnya dalam bentuk folklore.
Klimatologi menjawab sistem iklim, hampir sama dengan kemampuan masyarakat
lokal dalam membaca tanda-tanda alam, hanya saja klimatologi lebih ilmiah; dan
relasi yang terakhir adalah relasi penyelaman dengan oseanografi-klimatologi.
Hal ini sungguh sangat jelas, dimana keduanya sangat berpengaruh pada aktivitas
selam yang arahnya ke penelitian. Ekosistem dan ekologi laut dapat dijawab
melalui kedua cabang ilmu ini, ditambah lagi dengan kegiatan menyelam sebagai
salah satu metodenya.
5. Penutup
Segala aktivitas
manusia tentunya memiliki keterkaitan satu sama lain, baik yang dibawa dari
masa lalu maupun yang dikembangkan pada masa sekarang. Kemajuan teknologi dan
pemikiran manusia telah menciptakan peradaban baru yang sangat maju. Namun,
semuanya itu tidak terlepas dari kearifan lokal yang masih tradisional.
Definisi peradaban modern memang masih sangat ambigu, tetapi nilai-nilai norma
dan kemajuan intelektualitas yang bersifat positif telah membuat suatu
kebudayaan yang sangat kompleks. Tidak hanya aktivitas menyelam, aktivitas
pertanian, perdagangan, dan penelitian dibidang sains juga membawa nilai-nilai
kearifan lokal didalamnya, walaupun itu hanya sedikit. Maka dari itu, relasi
antara tradisi lokal dengan ilmu pengetahuan mesti ada untuk menciptakan
“modernitas” di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Raffi. “Kembalikan Kejayaan Maritim RI.” Kompasiana.
16 Desember 2013.
http://hankam.kompasiana.com/2013/12/16/kembalikan-kejayaan-maritim-ri--619670.html
(diakses Maret 1, 2015).
Azis, Umirul. Polarisasi
Keberagaman Masyarakat Ginandong Karanggayam Kebumen. Skripsi, Yogyakarta:
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2009.
Bartis, Peter. Folklife
and Fieldwork: An Introduction to Field Techniques. Washington: American
Folklife Center, 2002.
Bello, N.J., A.A.
Amori, dan Adejuwon. Introduction to Climatology and Biogeography. Bahan
Ajar, Denver: Department of Water Resources Management and Agrometeorology
College of Environmental Resources Management, 2011.
Burhanuddin, Safri
(dkk). Sejarah Maritim Indonesia. Semarang: Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2003.
Chandra, Peniel.
“Environmental Archaeology.” Analisis Bahan Pembuatan Wadah Kubur (Yumu) di
Situs Gua Latea, Kecamatan Pamona Pasulemba, Kabupaten Poso. Makassar:
Tidak Terbit, 4 Desember 2014.
Dahuri, R. Ekosistem
Pesisir. Makalah/Materi Kuliah, Bogor: Institut Pertanian Bogor, 1996.
Karp-Boss, Lee (dkk). Teaching
Physical Concepts in Oceanography: An Inquiry-Based Approach. Maryland: The
Oceanography Societies, 2009.
Keesing, Roger M. Antropologi
Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga, 1989.
Koentjaraningrat. Beberapa
Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1990.
Kusnadi. “Kebudayaan
Masyarakat Nelayan.” Jelajah Budaya Tahun 2010 "Ekspresi Budaya
Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa". Yogyakarta: Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, 2010.
Mahzim, Syaifuddin Hj.
Wan. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Timur di Sumatera
Utara: Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-Nilai Budaya. Disertasi, Kuala
Lumpur: Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia, 2005.
Matsum, Junaidi H. Interaksi
Sosial dan Hasil Belajar Siswa di Sekolah: Studi Eksperimen Model Kelompok
Belajar Kooperatif dalam Meningkatkan Hasil Belajar Geografi Siswa SLTP KORPRI
Unit Universitas Pendidikan Indonesia. Disertasi, Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia, 2001.
Moeis, Syarif.
“Adaptasi Ekologi Masyarakt Pesisir Selatan Jawa Barat Suatu Analisa Kebudayaan
(Gambaran Komunitas Cipatugaran Kecamatan Palabuanratu Kabupaten Sukabumi Jawa
Barat).” Diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung . Bandung:
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.
Noorduyn, Jacobus. “A
Code of Bugis Maritime Laws.” Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 113, oleh C.H. Thomson (ed), 238-251. Leiden: KITLV, 1957.
Noyes, T. James.
“Introduction to Oceanography.” Oceanography 10, 2015: 1-18.
Pusat Bahasa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2012.
Ritonga, Abdurrahman. Kependudukan
dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia, 2009.
Soeharto, Bohar.
“Hubungan Timbal-Balik Antara Manusia dan Alam.” MIMBAR Jurnal Sosial dan
Pembangunan Volume 20. 2004. http://ejournal.unisba.ac.id/ (diakses
November 10, 2014).
Tomczak, Matthias. Lecture
Notes in Oceanography. Adelaide: Flinders University, 2000.
World Meteorological
Organization. Guide to Climatological Pratices (Third Edition). Jenewa:
World Meteorological Organization, 2010.
[1] Dahuri (1996)
mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan
dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari
rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah
provinsi di suatu negara.
[2] Yang dimaksud
petani dalam tulisan ini adalah petambak atau petani budi daya laut.
[3] Petunjuk gaib
yang diyakini masyarakat menentukan hari-hari baik dalam melakukan aktivitas
menyelam. Kebudayaan masyarakat pesisir Pulau Jawa mengalami akulturasi dengan
budaya Islam. Oleh karena itu, petunjuk gaib dianggap wahyu dari Yang Maha
Kuasa. Sangat berbeda dari segi Islamisasi dengan masyarakat pedalaman yang
masih memegang teguh Kejawen, namun
dari pengaruh kepercayaan nenek moyang, kedua masyarakat tersebut hampir sama
(Azis, 2009:3).
[4] Istilah folklore diperkenalkan pertama kali oleh
William J. Thoms pada tahun 1846 merujuk pada syair-syair dan petuah-petuah
magis yang berisi aturan-aturan dalam bentuk nyanyian daerah (folksong) di Amerika (Bartis, 2002:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar