Kembali dalam guratan tinta elektronik,
tulisan tak bertuan menyampaikan maksudnya lewat ‘Mahasiswa: Refleksi Awal
Tahun 2015’. Mari kita berhenti sejenak dengan rutinitas kita (kecuali
bernafas) untuk membayangkan atau tepatnya merenungkan apa yang telah kita
lakukan setelah euforia tahun baru masehi ini. Jika ada orang yang berkata, “mari kita refleksi apa yang kita lakukan
pada tahun lalu”, itu hal yang sangat wajar. Namun sungguh tidak biasa jika refleksi
dilakukan di awal tahun, terlebih lagi jika itu tak lebih dari 10 hari sejak
tahun baru.
Sekarang yang jadi pertanyaan, apa kita
sudah melakukan refleksi, entah untuk hari kemarin ataupun tahun lalu? Adakah
dari kita yang berpikir bahwa hari-hari di tahun ini tak berbeda dari hari-hari
di tahun sebelumnya? Ataukah kita tak memikirkannya sama sekali? Yah, kita
boleh jujur pada diri masing-masing.
Refleksi adalah salah satu bagian dari
tindakan merenung yang fokus pada sejarah diri sendiri, orang lain, maupun suatu
kelompok masa tentang apa yang sudah dilakukan, baik dan buruknya. Tak perlu
terburu-buru dan tak usah jauh-jauh, mari kita mulai dari diri sendiri.
Mulailah bertanya pada diri sendiri tentang sejarah anda sendiri. Namun,
sebelum kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, saya ingatkan bahwa ini
refleksi tahun 2015, bukan tahun 2014. Bukankah 2014 itu merupakan sejarah?
Tentu saja, namun jika anda memperhatikan paragraf sebelumnya, anda tidak akan
kebingungan menyusun pertanyaan-pertanyaan kritis untuk diri anda.
Mahasiswa,
dari mata ke mata
Saya harap anda telah mengisi lembar
jawaban untuk diri anda dan sebelum lebih jauh lagi, saya pertegas bahwa saya
adalah seorang mahasiswa dan tulisan refleksi bersama ini berkaitan dengan
dunia kemahasiswaan. Jika membicarakan mahasiswa, pasti ada sedikit terlintas
dibenak orang yang membicarakan mahasiswa tersebut (mahasiswa dan non-mahasiswa
sama saja), soal demonstrasi, aksi bakar ban, bentrokan, pengerusakan, bahkan
anarkisme radikal. Saya sangat menyayangkan hal tersebut. Namun apa daya, belum
ada hasil yang kita tunjukkan pada mereka (khususnya masyarakat yang
terperangkap janji-janji penguasa).
Akhir-akhir ini, saya sedikit membaca
tulisan-tulisan mengenai mahasiswa serta gerakan pembebasan yang diusung oleh
mereka. Melihat sisi lain dari mahasiswa yang umumnya dibicarakan, sebuah
tulisan berjudul ‘Surat Terbuka untuk Mahasiswa Makassar’ oleh Asri Abdullah
(mantan ketua UKPM-UH) cukup mencolek benak sebagian orang, termasuk saya.
Penghargaan bagi mereka yang tak pernah lelah meneriakkan keadilan di atas
aspal panas, mungkin begitulah kesimpulannya. Namun, kebanggaan belum
sepantasnya kita kumandangkan, sebab tirani masih merajalela. Terus berbuat,
itulah yang kita harus lakukan.
Perjalanan mahasiswa dan gerakannya
tentu saja tak semudah copy-paste
dari Google atau Wikipedia. Peristiwa-peristiwa berujung batu dan darah
seringkali tak terhindarkan. Tak hanya para aparat, masyarakat yang punya
kepentingan pun berpihak pada penguasa, mengacungkan tinjunya kepada mahasiswa.
Ibarat ‘Jalanan dan Sang Koboi’ menurut salah satu anggota LAW Unhas, Aman
Wijaya. Tak hanya secara fisik, namun tekanan mental berupa ancaman DO dan
skorsing selalu membayang-bayangi setiap perjalanan gerakan mahasiswa. Barbagai
macam tekanan tersebut ‘melemahkan’ gerakan mahasiswa dan menciutkan nyali
sebagian besar mahasiswa dari tahun ke tahun. Tidak hanya berasal dari luar,
faktor penghambat gerakan mahasiswa berasal dari mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa semakin nyaman dengan fasilitas kampus, seperti Wi-Fi dan ruangan serbaguna yang sering kita sebut sekretariat
himpunan. Ruangan tersebut layaknya sebuah cafe dengan fasilitas koneksi
internet, tentu saja lengkap dengan secangkir kopi dan sebatang rokok. Bukannya
‘berselancar’ mencari sesuatu yang bermanfaat, justru menggunakan fasilitas itu
untuk kenikmatan diri sendiri. Ketika ada isu-isu mengenai gerakan mahasiswa,
sebagian mahasiswa lebih senang untuk duduk dengan nikmat di depan laptopnya.
Yah, kita tidak boleh merampas kebebasan mereka. Toh, mereka adalah mahasiswa
yang dapat memilih apa yang baik untuk diri mereka.
Angkatan
‘98
Kesaktian mahasiswa yang (masih)
terngiang dalam kisah-kisah heroik angkatan ’98, selalu saja didendangkan oleh
para aktivis masa kini. Bukannya ingin melupakan sejarah, tapi ada yang lebih
dari pada itu. Menurut saya, redupnya ‘kesaktian’ mahasiswa tersebut karena ada
suatu pencapaian yang luar biasa sehingga kepuasan mahasiswa atas pendudukan
rezim Orde Baru berlangsung sangat lama, akibatnya mahasiswa bingung ‘mencari
lawan’ dan gerakannya mulai terpecah karena pemerintah bisa membaca gerakan
mahasiswa lebih awal, membuat banyak permasalahan, mulai dari sesuatu yang
abstrak, seperti ideologi dan RUU sampai sesuatu yang bersifat teknis, seperti
kebijakan pemerintah menaikkan BBM, penggusuran pemukiman kumuh, dan masih
banyak lagi. Masalah bagi mahasiswa tersebut merupakan keuntungan bagi
penguasa. Tapi anehnya, pemerintah sekarang sebagian besar berasal dari
angkatan ’98 yang kita banggakan itu. Apakah permasalahan gerakan mahasiswa
adalah sebuah ujian yang diberikan oleh mereka atas pertanyaan mengenai gerakan
mahasiswa mau dibawa ke mana?
Teman-teman bisa membaca tulisan dari
indoprogress.com berjudul ‘Meletakan Kembali Gerakan Mahasiswa ke Jalur Strategis’ oleh Hendardi. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bagaimana
perubahan arah gerakan mahasiswa yang semula gerakan sosial menjadi gerakan
politik bersama masyarakat. Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, semakin terlenalah mahasiswa dengan kebebasan
bertindak, termasuk begadang sampai pagi dan tidur sampai sore. Selain itu,
kebersamaan mahasiswa terpecah oleh oknum-oknum yang membawa bendera
masing-masing, masuk ke kampus seperti angin, dan menimbulkan perpecahan dalam
gerakan mahasiswa. Mahasiswa tidak dapat menentukan arah gerakan yang dapat
menyatukan mereka karena musuhnya sangat beragam, neolibealisme-lah,
kapitalisme-lah, pemerintah-lah, mafia tanah-lah, apa-lah, tergantung pada
bendera yang mereka bawa.
Bukan melupakan sejarah, tetapi kita mesti
memahami bahwa konteks gerakan mahasiswa sekarang berbeda dengan mereka,
angkatan’98. Bukankah hal yang wajar jika pemerintah jarang menjawab aspirasi
mahasiswa karena metode gerakannya dari tahun batu hingga sekarang tetap sama?
Orasi - bakar ban - lempar batu kalau sempat - bentrok adalah siklus alami dari
sebuah demonstrasi. Walaupun tidak semuanya seperti itu, namun telinga
masyarakat tahu apa yang mereka dengar. Pers yang awalnya merupakan media
gerakan pembebasan berubah menjadi hedonis dan penyambung lidah pemerintah yang
semakin memperburuk citra mahasiswa di masyarakat. Namun itulah yang mesti kita
terima, hal tersebut sama saja dengan teror Orde Baru pada masa angkatan ’98,
hanya saja yang ini adalah New Form.
Refleksi:
Think, Think, Think...
Mahasiswa terbaik adalah mereka yang
mampu berpikir kritis dan dapat menjadi lulusan yang tidak hanya mapan IQ-nya,
namun EQ-nya juga (itu menurut saya loh!). Semua itu tertulis jelas dalam
tridharma perguruan tinggi, namun kebanyakan dari kita sedikit salah kaprah dan
setengah-setengah menjalankannya. Tahun 2015 ini merupakan tahun yang sekiranya
dapat menggeser sedikit pemikiran mahasiswa karena saya rasa bukan hanya saya
saja yang merasakan kemerosotan gerakan mahasiswa, mungkin sebagian dari kalian
juga cukup merasakannya. Kemerosotan ini menimbulkan polemik saling
salah-menyalahkan di dalam tubuh lembaga kemahasiswaan. Saya rasa, cukuplah
kita membuat masalah baru yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah, cukup
refleksi diri masing-masinglah. Sudah cukup dengan 2014, pertanyaannya adakah
dari kita yang telah memikirkan gebrakan untuk tahun ini?
Jujur, saya hanya dapat meluangkan waktu
untuk menulis di sela-sela liburan yang cukup lama ini. Saya merasa masih perlu
banyak belajar untuk membangun sebuah konsep tentang mahasiswa untuk diri saya
sendiri. Tahun 2015 saya awali dengan secangkir softdrink dan imajinasi-imajinasi liar yang entah akan terwujudkan
atau tidak. Untuk dunia kemahasiswaan, saya tahu diri bahwa saya belum bisa
membaktikan diri dengan baik dan menjalankan tridharma perguruan tinggi
sebagaimana mestinya. Saya juga sudah memikirkan sarjana, namun sarjana yang
tugas dan tanggung-jawabnya dalam artian menurut Soe Hok Gie:
“Tugas Seorang
sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari
arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya,
yakni bertindak jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam
disaat keadaan mulai mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan.”
Itulah sedikit tulisan refleksi yang bisa saya bagikan
kepada teman-teman. Sebenarnya tulisan ini lebih tepat disebut sebuah ajakan
untuk kita merefleksikan diri. Ada yang beranggapan bahwa refleksi tidak perlu
di umbar, cukup dalam diri sendiri saja. Namun, saya hanya bermaksud membagikan
sedikit isi pikiran saya. Itulah demokrasi, daripada curhat di wall facebook mending buat tulisan. So, bagaimana dengan anda? Apa yang
sudah anda rencanakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar