Sungguh beruntung malam ini, ketika saya
duduk bersila sambil mendengarkan gurauan segar yang membangkitkan selera untuk
menulis. Seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman
memberikan sedikit pandangannya mengenai dunia kemahasiswaan. Wajahnya yang
cukup bersahabat dengan santainya menghisap rokok sambil mengeluarkan
pernyataan-pernyataan kritis, namun sederhana dan mudah dipahami. Perbincangan itu
membuatku tersenyum-senyum sambil membayangkan bahwa ucapannya sungguh masuk
akal (menurutku). Awalnya, pembicaraan itu kaku dan satu arah (karena saya yang
memulai), namun ketika dia mulai bercakap, duduk tegap menjadi duduk santai
sembari memerhatikan arah pembicaraan. Saya tidak men’dewa’kan beliau, hanya
saja saya kagum dengan pemikiran beliau yang sepertinya pas dengan apa yang
saya pikirkan, walau hanya sedikit yang benar-benar saya pikirkan (wajar saja,
pengalaman saya masih sangat sedikit).
Inti pada tulisan kali ini adalah
konflik dan kekuasaan. Tentunya tulisan ini mengarah ke dunia kemahasiswaan. Dua
inti tulisan ini terkadang sangat berhubungan, baik secara konsep maupun teknis,
karena terkadang, konflik terjadi ketika ada dominasi (kekuasaan). Oh iya,
tulisan ini juga merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya, ‘Mahasiswa: Refleksi Awal Tahun 2015’ yang mengangkat refleksi mahasiswa dan gerakannya sebagai isu.
Senior
dan Junior
‘Senior tidak pernah salah’, merupakan
kalimat yang selalu didengungkan berkali-kali ketika seseorang baru saja masuk
ke dalam salah satu perguruan tinggi sebagai mahasiswa baru (maba), walaupun
tidak semua kampus menerapkan hal itu. Bagaikan firman tuhan, semua maba
tersebut harus patuh terhadap kalimat tersebut. Terkadang kalimat itu disalah
artikan dan menjadi salah satu hal yang harus ada dalam doktrin kemahasiswaan.
Sebenarnya, itulah virus yang pertama
kali menjangkit kita dalam dunia kelembagaan mahasiswa maupun
organisasi-organisasi luar kampus yang menjunjung tinggi nilai ke’senioritas’an.
Tak usah kita berpaling ke kiri dan ke kanan, sebagai mahasiswa kita pasti
sadar bahwa ketika penerimaan mahasiswa baru, sebagian dari kita mencoba
memperlihatkan ‘kekuasaan’ kita dihadapan maba yang polos. Bak superhero, kita selalu ada disetiap
kegiatan yang berhubungan dengan maba, berdiri atau duduk di karpet sambil
membusungkan dada sementara maba hanya duduk di lantai atau tanah, selalu
memberikan arahan mengenai apa yang harus dan tidak harus dilakukan (walaupun
hal itu tidak penting), dan memberikan pengaruh dengan mengatakan kepada maba
bahwa “saya yang paling hebat di sini! Kalau ada apa-apa, sebut saja namaku”. Setelah
proses itu selesai, terciptalah kasta ‘senior’ dan ‘junior’. Sebagian besar
lembaga mahasiswa menerapkan prinsip bahwa senior dapat bersantai, sedang junior
membuatkan kopi untuk seniornya. Walaupun terdengar kasar, namun itulah
kenyataan. Hal tersebut menjadi racun untuk generasi selanjutnya dan juga
sebagai sisi negatif dari lembaga mahasiswa.
Tidak mengherankan, ketika kuantitas penggiat
kelembagaan sangat minim. Tetapi ada saja yang mengatakan bahwa “hukum rimba
yang berlaku di sini! Siapa yang tidak mampu, tidak usah ikut”, sebenarnya
adalah pembelaan terhadap kesalahan dan keteledoran sistem pengaderan yang
tidak bersandar pada prinsip dan esensi lembaga, sehingga sebagian dari kader
melarikan diri. Sesungguhnya, bukannya mereka tidak mampu, hanya saja mereka
memiliki keahlian dan kesukaan dibidang lain. Selain itu, model pengaderannya
juga memperrhitungkan kondisi kader, variatif, dan kreatif, bukannya mengambil
keputusan sepihak (umumnya kaku dan monoton) dengan mengatasnamakan kepentingan
lembaga. Memang kita melatih mental, namun perlu juga mengetahui maksud dan
tujuan hal tersebut dilakukan. Jangan sampai, kita adalah generasi ikut-ikutan
atau copy-paste. Kualitas memang
perlu, namun jika budaya itu terus menerus diturunkan, maka sungguh umur’nya’
akan pendek. Bisa anda bayangkan, apa yang akan terjadi dengan lembaga
kemahasiswaan 5-10 tahun ke depan, jika budaya ini diturunkan tanpa proses yang
kritis?
Efek
‘Firman Tuhan’
Doktrin tentang kasta dan kesetiaan atau
loyalitas terhadap organisasi telah mendarah-daging dan menjadi ‘kitab suci’
bagi kehidupan lembaga kemahasiswaan. Doktrin-doktrin ini diterima-terima saja
oleh junior karena dikekang oleh perasaan tertekan dan takut salah (lebih
tepatnya mengkritik) yang ujung-ujungnya adalah kontak fisik dengan senior
(bukan seks!). Rupanya kritik dapat menjadi momok bagi sebagian besar senior
yang tidak mau mengevaluasi dirinya sendiri. Pertanyaan yang paling membuat
saya tertegun adalah “apa warisanmu?” sungguh membuat saya berpikir keras. Pertanyaan
yang sulit dan sampai saat ini, saya belum bisa menjawabnya. Sangat wajar bila
junior saya mengkritik hal tersebut karena saya merasa belum memberikan apa-apa
buat mereka.
Salah satu doktrin yang kuat dalam
pengaderan adalah ‘solid’ atau
kebersamaan. Salah satu pepatah yang selalu dilantunkan oleh senior adalah “sama-sama
susah, sama-sama menderita, kalian harus tetap bersama-sama”. Rupanya, sebagian
dari junior-junior mereka menyalahartikan hal tersebut. Saking solid-nya mereka, sampai-sampai hubungan
eksternal mereka menemui jalan buntu. Mereka hanya berkutat pada lingkungan
sosial mereka sendiri atau kelompok ‘cacat sosial’. Tidak jauh dengan anak SMA
yang selalu membangga-banggakan sekolahnya sendiri. Ketika generasi baru tersebut
menciptakan lingkaran pemisah antara lembaganya dengan dunia luar, maka timbulah
konflik turun-temurun yang berkutat pada lingkungan kelembagaan mereka. Contoh sederhana
adalah program kerja kelembagaan yang selalu sama setiap tahunnya. Hal itu
terjadi ketika koneksi dengan dunia luar terputus. Bergaul dengan sesama teman
satu lembaga dan tidak mau bergaul dengan lembaga lain menyebabkan siklus
konflik internal lembaga.
Banyak diantara kita menyadari bahwa
jika relasi pertemanan di lingkungan
kelembagaan hanya dibatasi oleh kepentingan, hal itu sudah pasti. Namun kita
terlalu membuat ruang relasi itu semakin sempit. Ada sebuah pengelompokkan dalam
benak seorang junior mengenai kemampuan seorang seniornya. Ketika pertama kali
senior memperlihatkan dirinya, hal itu terekam, begitupun kemampuannya. Hal tersebut
menjadi ‘iman’ bagi si junior, dan ketika senior yang mereka kagumi memberinya
arahan/doktrin, itu telah menjadi ‘firman tuhan’. Contohnya, pemateri dalam
sebuah kegiatan tahunan selalu saja sama. Jika si A merupakan orang yang
dipercaya dan senior yang sangat ahli dalam suatu materi, maka selalunya si A
ditunjuk sebagai pemateri hingga ia lulus kuliah. Tidak ada generasi lain yang
membawakan materi tersebut selama ia masih menjabat sebagai mahasiswa. Memang kapabilitas
seseorang penting, namun kapabilitas itu bukan hanya dimiliki oleh seorang
saja. Kita bisa mempercayakan materi tersebut pada si B, si C, atau si D,
selama masih bisa membawakan materi tersebut. Toh, kita juga yang bisa menilai
dan merasakan hasilnya. Menurut saya, itulah yang disebut sebagai efek ‘firman
tuhan’.
Setan
Bisa Saja Benar
Kebobrokan generasi penerus bukan
sepenuhnya kesalahan generasi pendahulu. Kita, generasi sekaranglah yang dapat
merubah hal tersebut. Saya akui bahwa senior-senior saya sangat hebat, namun
memang dasar otak masih setengah-setengah menyikapinya dengan kritis. Bertindak
dan menjalankan kegiatan dengan sikap ogah-ogahan juga mendatangkan kitab-kitab
baru bagi generasi sesudah kita. Kita yang bersikap ogah-ogahan tersebut
menjadi ‘tuhan’ baru bagi mereka, generasi penerus kita. Akhirnya, sikap buruk
kita tersebut menjadi ‘firman’ baru bagi mereka. Kita harus mengkritisi apa
yang salah dari generasi sebelum kita dan melanjutkan semangat berorganisasi
mereka. Membuat kreasi baru, bukannya menjiplak karya tangan mereka. Tentu mereka
akan senang, walaupun tidak sesuai dengan keinginan mereka tetapi setidaknya
dapat memberi warna baru bagi organisasi atau lembaga kemahasiswaan secara umum.
Jadi, setan pun bisa benar lewat bisikan-bisikan kritis dan kegiatan yang
melenceng dari garis ‘takdir’ lembaga, selama itu masih sesuai dengan tujuan
yang telah kita sepakati.
Sebenarnya, topik ini terlintas dibenak saya
ketika berbincang-bincang singkat dengan Pak Alwi, seperti yang telah saya ceritakan
di awal tulisan. Pembicaraan itu menjurus kepada kondisi lembaga kemahasiswaan
sekarang, terutama lembaga internal kampus. Namun ini bukanlah kritik (atau
memang sebuah kritik?), karena saya juga merupakan bagian dari sistem lembaga
kemahasiswaan yang juga perlu mendapat kritik. Tulisan ini hanya sekedar ‘angin
yang tiba-tiba berhembus’ dibenak saya serta perlu atau harus mendapat kritikan,
karena ilmu pengetahuan diperoleh bukan berasal dari kebenaran mutlak atau
wahyu yang turun dari langit, melainkan kesalahan duniawi yang dicap sebagai
kebenaran semu, begitupun tulisan ini. Just
share!