Kota
Makassar merupakan sebuah kota yang berkembang dilihat dari segi perekonomian,
industri, dan pembangunan infrastruktur. Pembaharuan-pembaharuan gencar
dilakukan oleh pemerintah kota, demi menambah kenyamanan dan kecantikan Kota
Makassar. Selain pembangunan fisik kota, kesehatan dan pendidikan menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi pemerintah kota
untuk menuju Makassar yang lebih maju. Program-program pendidikan dan kesehatan
menjadi slogan-slogan para calon wakil rakyat Kota Makassar dalam usahanya
mengambil hati masyarakat. Sebelum hari pemilihan wakil rakyat, poster-poster
bertebaran dengan nada-nada pembangunan, membuat hati rakyat bimbang memilih
siapa yang terbaik.
Makassar Sore Hari |
Yah,
paragraf di atas menggambarkan keadaan masyarakat dari sudut pandang
orang-orang dari kalangan atas yang melihat Makassar secara overpositif dan
optimis tanpa enggan melihat ke ‘bawah’.
Jika dilihat secara sekilas, pemilihan wakil rakyat seolah-olah seperti arena
judi dengan iming-iming pembangunan. Tentu saja, yang menjadi korban adalah
masyarakat kelas bawah. Memang, kalimat di atas seolah-olah menggambarkan
Makassar sebagai kota yang indah dengan pembangunan yang terjadi disemua
sektor, namun jika dilihat secara mendalam, ternyata ada sesuatu yang janggal
di balik semua pembangunan itu. Permasalahan-permasalahan sosial dalam
masyarakat terus bertambah, penggusuran terjadi dimana-mana, kesehatan dan
pendidikan menjadi mimpi belaka. Begitulah kira-kira keadaan Makassar menurut
penulis dari sudut pandang sebagai masyarakat biasa.
Fakta-fakta
yang penulis dapatkan di lapangan, beberapa wilayah pinggiran Makassar masuk
dalam kategori daerah miskin[1]
jika dilihat dari tingkat pendidikan dan penghasilan rata-rata/hari. Contohnya,
masyarakat yang berada di sekitar Tanjung Bayang, Makassar, sehari-hari bekerja
menawarkan jasa wahana pantai memiliki tingkat pendidikan hanya sampai sekolah
menengah atas dan penghasilan rata-rata/hari yang didapat berkisar antara
Rp50.000 sampai Rp70.000. Jika melihat jumlah anggota keluarga dalam satu rumah
dan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari rumah tangga, nilai uang seperti itu memang
cukup untuk sehari itu saja, tidak lebih. Itu salah satu penyebab tingkat
pendidikan mereka sangat rendah.
Menurut
Pearson Education[2],
Indonesia meraih posisi terendah di dunia dalam hal pendidikan. Tentu saja, hal
ini sangat memalukan bagi kita. Namun, kita juga harus mengambil sikap positif
dari kritikan dunia tersebut melihat kondisi pejabat-pejabat yang setiap hari
makin buncit dengan segala kemewahan, sedangkan rakyat semakin tenggelam dalam
angan-angan dan janji-janji politik para wakil rakyat yang mereka tunjuk untuk
mewakili aspirasi mereka. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tergolong masih
kurang, sebagian dari mereka mencoba melampiaskan kekesalan mereka lewat
aksi-aksi yang membuat pemerintah geram. Semua itu mereka lakukan untuk menarik
perhatian pemerintah, namun tampaknya pemerintah tidak bergeming sehingga kemudian
hari aksi-aksi mereka semakin mengarah ke arah yang radikal.
Vandalisme[3]
Kegiatan Vandalisme |
Mengacu
pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV, vandalisme atau vandal
adalah perbuatan merusak dan menghancurkan karya seni dan barang berharga
lainnya (keindahan alam, dsb) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan
ganas. Vandalisme biasanya dilakukan untuk tujuan yang bersifat mengabadikan
momen, tapi dengan cara berbeda dan semua orang bisa tahu serta mengakui
“karyanya”. Biasanya, coretan vandalisme berorientasi pada lingkup para
vandalis (orang yang melakukan vandalisme), misalnya nama pribadi, nama/simbol
suatu kelompok, atau kalimat-kalimat ekspresif si vandalis dan objek
vandalisme, tentu saja adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh banyak
orang. Terkadang, vandalisme dianggap sebagai bentuk kreatifitas ataupun
kenakalan remaja/anak muda. Ada pula yang menganggap vandalisme merupakan
sebuah hobi atau kesenian anak muda yang tidak memiliki wadah untuk menyalurkan
bakat mereka, tetapi ada pula vandalisme yang merupakan sebuah bentuk gerakan
perlawanan mahasiswa terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Namun, tidak
menutup kemungkinan, ada juga pihak-pihak yang sengaja membayar orang untuk
melakukan suatu vandalisme dengan mengatasnamakan mahasiswa demi tujuan politik.
Vandalisme
memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari sudut pandang
vandalisme sebagai seni yaitu menghasilkan atau membentuk karakter-karakter
seniman jalanan yang selama ini kurang diperhatikan. Boleh dikatakan bahwa vandalisme
sebagai bentuk publikasi karya seni. Sedangkan dilihat dari sudut pandang
vandalisme sebagai bentuk perlawanan, tentunya pemerintah akan mulai peka
terhadap permasalahan-permasalahan sosial masyarakat. Sedangkan, dampak negatif
dari vandalisme yaitu merusak bangunan-bangunan di sepanjang jalan, situs
bersejarah atau cagar budaya suatu daerah. Pemerintah melarang kegiatan-kegiatan
vandal dengan beberapa cara, baik secara kasar (menggerakkan aparatur kota)
atau dengan cara halus seperti lomba-lomba kebersihan tingkat desa/kecamatan.
Akan tetapi, aktivitas vandalis rupanya tak kunjung berhenti karena vandalisme
di benak masyarakat merupakan salah satu solusi yang terbaik dan mungkin paling
aman (karena pelakunya anonim/memakai alias) dalam menyampaikan kekecewaannya
terhadap pemerintah setelah usaha-usaha halus dilakukan. Seperti halnya di
kampus, vandalisme mungkin suatu cara
yang aman dan mampu membuat pihak birokrasi kampus peka terhadap permasalahan-permasalahan
internal kampus. Vandalisme merupakan
fenomena yang muncul karena beberapa faktor, diantaranya faktor pemerintahan. Jadi,
untuk meminimalisir vandalisme, kita harus mencari akar permasalahan.
Pemerintah harus sadar terhadap kinerjanya selama ini dan melihat vandalisme
secara positif dan mengambil makna dari coretan-coretan yang tadinya
seolah-olah hanya iseng belaka.
Cagar Budaya
Makassar
memiliki sejarah yang cukup panjang berkenaan dengan kolonialisme di Indonesia.
Banyak bangunan-bangunan kuno pada masa kolonial yang masih berdiri hingga
sekarang dan menurut beberapa orang, bangunan-bangunan tersebut sangat megah
dan menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Makassar. Bisa dikatakan,
bangunan-bangunan bersejarah tersebut menjadi faktor pertumbuhan perekonomian
kota dan bisa menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat. Salah satu contoh,
Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang menjadi salah satu ikon Kota
Makassar. Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di Kelurahan Baru, Kecamatan
Ujung Pandang atau tepatnya di Jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang dilalui
kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan Karebosi. Selain
nilai sejarah, letak Fort Rotterdam sangat strategis karena berada dekat dengan
pantai. Masyarakat yang hendak tamasya ke pantai dapat langsung singgah ke Fort
Rotterdam untuk sekedar melihat-lihat atau berkunjung ke Museum La Galigo yang
terletak di dalam Fort Rotterdam.
Merujuk
pada Undang-undang no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 43, Fort
Rotterdam merupakan cagar budaya peringkat provinsi karena dapat mewakili kekhasan
suatu provinsi. Menurut sejarahnya, Benteng Rotterdam di bangun oleh Raja Gowa
IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallona pada tahun 1545. Awalnya
benteng ini berbahan dasar tanah liat dan pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV
Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang
bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Namun, setelah
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667,
benteng ini diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan gaya arsitekturnya pun
dibuat seperti bangunan-bangunan Belanda. Hingga sekarang, sebagian besar
gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di
Kota Makassar. Saat ini, beberapa unit bangunan di dalam Benteng Rotterdam
digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Museum
La Galigo dan Kantor Dewan Kesenian Makassar.
Dalam
undang-undang cagar budaya, baik UU no. 5 Tahun 1992 maupun UU no. 11 Tahun
2010, nilai penting sebuah cagar budaya merupakan otoritas dari pelestarian
cagar budaya melalui penanganan fisik seperti, pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan. Nilai penting khususnya bangunan kuno atau lingkungan bersejarah
juga dikemukakan oleh James Semple Kerr dalam Asmunandar (2008), yaitu nilai
sosial, nilai komersil, dan nilai ilmiah. Nilai sosial, makna bangunan-bangunan
bersejarah bagi masyarakat; nilai komersil, pemanfaatan bangunan bersejarah
sebagai sumber perekonomian; dan nilai ilmiah, yang berkaitan dengan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Nilai komersil dari Fort Rotterdam memang
sangatlah tinggi, selain memiliki letak yang strategis, ruang yang luas
membuat pengunjung merasa betah, sedangkan untuk nilai sosial dan nilai ilmiah
Fort Rotterdam hanya berlaku sekitar 1% bagi masyarakat awam, sisanya bagi para
budayawan dan para sejarawan (kalangan pelajar yang terkait).
Sikap
pemerintah selama ini sudah cukup baik dalam melaksanakan undang-undang
tersebut. Tidak hanya Fort Rotterdam, bangunan kolonial lainnya juga mendapat
perlakuan yang sama. Tapi, untuk nilai komersil, mungkin Fort Rotterdam masih
menduduki peringkat atas. Data tahun 2013 menunjukan adanya peningkatan jumlah
pengunjung sebesar 50%, terlebih jika di Fort Rotterdam di adakan acara-acara
atau kegiatan-kegiatan tahunan. Pada akhir bulan Juni, tepatnya 25 hingga 29
Juni 2013 di adakan kegiatan Makassar International Writers Festival yang
menyedot perhatian masyarakat Makassar, khususnya para sastrawan lokal.
Pasalnya, penulis-penulis kenamaan yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia maupun luar negeri berdatangan di Fort Rotterdam.
Pariwisata
semacam inipun menarik minat para pengusaha-pengusaha asing. Mereka membuka
cabang-cabang usaha di sekitaran obyek-obyek wisata dan seperti yang kita lihat,
Kota Makassar penuh dengan restoran-restoran cepat saji dan
minimarket-minimarket yang jaraknya hanya sejengkal satu sama lainnya. Menurut
penulis, hal ini sangat miris karena seharusnya yang memperoleh keuntungan dari
pariwisata Makassar adalah warganya sendiri, bukannya pendatang. Warung-warung
mereka tergusur (secara fisik maupun non-fisik) dengan kemegahan
minimarket-minimarket. Terkadang, pedagang lokal menaikkan harga jualan mereka
karena pemasukan mereka semakin hari semakin berkurang ditambah lagi kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini membuat masyarakat sibuk mengurusi
perutnya dan semakin kecewa dengan sikap-sikap pemerintah yang hanya sibuk
mengurusi ‘tamu’nya dan tidak memperhatikan ‘diri mereka’ sendiri.
Vandalisme dan Cagar Budaya
Nah,
sekarang yang jadi pertanyaan, apa hubungannya vandalisme dengan cagar budaya
jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat, baik mereka yang bermukim di
sekitar bangunan cagar budaya maupun para pendatang? Jika dilihat secara
sekilas, memang tidak terjadi apa-apa. Namun, jika dilihat lebih mendalam,
vandalisme mulai menjadi media alternatif untuk melampiaskan kekesalan mereka.
Selain ulah remaja yang nakal (menuliskan namanya ke dinding-dinding bangunan),
adapun tindakan-tindakan vandal yang dilakukan masyarakat sekitar, seperti mencungkil
atau menjarah beberapa benda-benda cagar budaya. Selain faktor ekonomi, salah
satu faktor yang memengaruhinya adalah pendidikan. Publikasi atau penyaluran
informasi mengenai cagar budaya tidak sampai ke masyarakat, sehingga
pengetahuan masyarakat hanya berdasarkan pengalaman saja. Sebagian dari mereka
melihat bangunan-bangunan bersejarah tersebut sebagai bangunan-bangunan para
penjajah tanah mereka dulu. Nilai-nilai penting menurut Kerr tadi menjadi tidak
ada apa-apanya jika melihat kondisi kekinian masyarakat yang sekarang. Walaupun
tidak semuanya masyarakat bersikap seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, mereka
ditekan oleh permasalahan ekonomi yang semakin hari semakin bertambah.
Dampak
vandalisme bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah tidak begitu
menjadi persoalan, karena bagi mereka, hal tersebut tidak berpengaruh besar
bagi kehidupan mereka. Penulis sempat mewawancarai salah seorang pedagang di
Tanjung Bayang, beliau mengatakan, selama hal itu tidak berpengaruh terhadap
penghasilannya sebagai pedagang, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.
Begitupun pedagang-pedagang di sekitaran Fort Rotterdam, banyak diantara mereka
bahkan tidak pernah masuk ke Fort Rotterdam dan keinginan mereka untuk melestarikan
Fort Rotterdam hanya dilandaskan pada perekonomian saja, coret-mencoret, tidak
ada pengaruh sama sekali, yang penting ramai.
Vandalisme di Fort Rotterdam |
Sikap
masyarakat dalam pelestarian cagar budaya di Makassar hampir sama dengan
kondisi di situs-situs prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep. Masyarakat
yang tidak terlalu mengetahui persoalan cagar budaya, menganggap situs-situs
tersebut biasa-biasa saja! Artinya, sebagian dari mereka tidak peduli lagi
dengan tempat-tempat seperti itu, bahkan situs-situs prasejarah hanya menjadi
faktor sekunder dalam menunjang perekonomian mereka. Hal ini sangat mengancam
pelestarian peninggalan nenek moyang mereka hanya karena persoalan
ketidaktahuan dan perekonomian yang harus mereka utamakan. Jangan sampai,
masyarakat yang berprofesi sebagai juru pelihara situs menganggap profesi
mereka sebagai pekerjaan paruh waktu. Di satu sisi, juru pelihara harus
menjalankan kewajibannya menjaga situs, di satu sisi, mereka bekerja sebagai
petani untuk menghidupi keluarganya. Hal tersebut membuat iri masyarakat yang
bekerja sebagai petani biasa. Mereka cemburu karena orang bekerja sebagai juru
pelihara mendapat penghasilan tambahan selain bertani. Hal ini dapat
menimbulkan konflik internal dalam masyarakat.
Sebagai
mahasiswa arkeologi, bagaimanakah seharusnya kita bersikap? Kita memperoleh
pelajaran-pelajaran dalam mata kuliah yang berkaitan dengan pelestarian cagar
budaya. Namun, ketika diperhadapkan dengan permasalahan sosial seperti di atas,
mungkin kita akan mengangkat tangan dan menyerahkan semuanya pada pemerintah.
Terkadang kita hanya menjadi pengamat saja dan bisa saja melanjutkan kebobrokan
pemerintah saat ini. Ingatkah kalian dengan salah satu Tridharma Perguruan
Tinggi, Pengabdian pada Masyarakat? Mungkin, diantara kalian hanya menganggap
bahwa pengabdian pada masyarakat itu hanya pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN)
saja. Melihat UU cagar budaya, kita mempunyai kewajiban untuk melestarikan cagar
budaya tersebut untuk nilai pentingnya, terkhusus nilai penting ilmiah. Tapi,
kita juga masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih memikirkan persoalan
perut dan ingin cepat-cepat selesai di bangku kuliah agar cepat mendapat
pekerjaan. Kita sebagai mahasiswa dituntut kreatif dalam menciptakan usaha
pelestarian yang sifatnya partisipatif. Mungkin pendekatan-pendekatan yang
selama ini dilakukan oleh intansi-instansi terkait cagar budaya masih kurang
tepat untuk diterapkan dalam masyarakat dalam konteks kekinian. Kita yang
selama ini hanya duduk, harusnya bisa menciptakan gebrakan baru untuk memajukan
Kota Makassar dengan cara kita sendiri (dalam hal positif). Setidaknya, kita
bisa merubah paradigma masyarakat tentang mahasiswa yang radikal dan anarkis menjadi
seorang pengabdi dalam masyarakat.
Vandalisme
bisa bermakna positif, bisa bermakna negatif, tergantung bagaimana kita
memaknainya. Jika merujuk dari pengertiannya, tentu vandalisme merupakan
kegiatan yang merusak, namun dibalik vandalisme itulah yang seharusnya dicari
tahu. Mungkin, beberapa diantara kita hanya melihat vandalisme dari satu sisi
saja sehingga kesimpulan yang kita ambil lebih banyak sisi negatifnya. Tapi,
opini masyarakat tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, hanya perlu
kita luruskan dengan cara-cara yang kreatif dan cerdik hingga kita tidak
melakukan kesalahan yang sama dengan generasi sebelum kita.
Referensi:.
Asmunandar.
2008. Membangun Identitas Masyarakat
Melalui Kota Kuna Makassar. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadja Mada.
BBCNews.
2012. Peringkat Sistem Pendidikan
Indonesia Terendah di Dunia. BBC Indonesia
Chandra,
Peniel. 2013. Fort Rotterdam:
Bertahan dari Guratan Para Vandalis. Makassar: Artikel pribadi.
Chandra,
Peniel. 2013. Fort Rotterdam: Wisata
Sejarah Makassar yang Hampir Kehilangan Nilai Sejarah. Makassar: Artikel
pribadi.
Mulyadi,
Aldi. 1999. Pengelolaan Situs Fort
Rotterdam (Kajian Cultural Resource Management). Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Oktaviana,
Dina N., et al. 2014. Pelestarian Situs Prasejarah Leang Kassi dan
Leang Alle’ Pusae yang Berbasis Masyarakat. Pertemuan Ilmiah Arkeologi
Mahasiswa se-Indonesia (PIAMI) XV. Makassar.
Pusat
Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (edisi IV). Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Republik
Indonesia. 1992. Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya. Lembaran
Negara RI Tahun 1992. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik
Indonesia. 2010. Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Lembaran
Negara RI Tahun 2010. Sekretariat Negara. Jakarta.
[1] Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi 4, miskin yang dimaksud adalah keadaan
miskin absolut dimana masyarakat hanya dapat memenuhi kebutuhan primer paling
banyak untuk sehari atau seminggu saja.
[2] Sebuah lembaga
survei pendidikan di Amerika Serikat.
[3] Vandalisme yang
dimaksud seperti graffiti, poster-poster liar, maupun coretan-coretan di
dinding-dinding bangunan umum.